Dunia digital kini menjadi arena interaksi utama bagi anak-anak, namun ironisnya, juga menjadi lahan subur bagi kekerasan seksual. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyoroti bahwa bahaya ini tidak lagi terbatas pada dunia nyata, melainkan mengintai di setiap sudut ruang digital.
Anonimitas dan sifat tanpa batas internet memungkinkan anak-anak berinteraksi dengan siapapun tanpa mengetahui identitas asli lawan bicaranya. Kondisi ini menciptakan celah besar yang dimanfaatkan pelaku kejahatan seksual.
Peran keluarga, khususnya orang tua, menjadi krusial dalam melindungi anak di dunia maya. Sayangnya, tidak semua orang tua memiliki pengetahuan dan kemampuan yang memadai untuk menghadapi tantangan ini.
KPAI mendesak pemerintah untuk menyediakan edukasi dan informasi yang mudah diakses dan dipahami, menjangkau hingga daerah-daerah terpencil. Revisi regulasi juga diperlukan untuk memperkuat perlindungan anak di ranah digital, tidak hanya berfokus pada aspek pidana, tetapi juga menjamin hak restitusi bagi korban.
Edukasi seksual yang berkelanjutan, bukan hanya saat momen-momen tertentu, sangat penting. Guru juga memegang peranan penting dalam menanamkan pemahaman tentang pentingnya menghargai diri sendiri dan orang lain.
KPAI menekankan bahwa pemerintah perlu meningkatkan anggaran untuk perlindungan anak secara signifikan. Jangan sampai respons baru muncul setelah terjadi kasus. Edukasi, pengawasan, dan komitmen anggaran harus menjadi prioritas utama untuk melindungi generasi penerus bangsa dari ancaman kekerasan seksual di dunia maya.