Serangan yang dilancarkan AS dan Israel baru-baru ini terhadap Iran memunculkan pertanyaan krusial: seberapa besar kerusakan yang dialami program nuklir Teheran? Gencatan senjata yang ditengahi AS dan Qatar pada 24 Juni lalu diharapkan mengakhiri 12 hari perang yang menegangkan. Namun, penilaian yang berbeda mengenai dampak serangan tersebut terus bermunculan.
Badan Intelijen Pertahanan (DIA) AS dalam laporan yang bocor menyatakan bahwa serangan tersebut tidak sepenuhnya menghancurkan komponen inti program nuklir Iran, dan hanya menunda pengembangan senjata nuklir selama beberapa bulan. Klaim ini bertentangan dengan pernyataan sebelumnya dari Presiden AS yang menyebutkan bahwa fasilitas nuklir Iran telah "dilenyapkan". Perdana Menteri Israel pun menyatakan hal serupa, bahwa operasi tersebut telah meniadakan ancaman nuklir yang ditimbulkan Iran.
Perbedaan pendapat ini memicu perdebatan politik di AS. Pemerintahan AS menolak penilaian DIA yang dianggap meremehkan kerusakan, sementara tuduhan merusak misi dilayangkan kepada media.
Di Teheran, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menegaskan bahwa serangan AS dan Israel tidak membuahkan hasil yang signifikan. Meskipun Iran mengakui adanya kerusakan serius, tingkat kerusakan yang sebenarnya masih menjadi perdebatan. Penilaian ini dianggap penting untuk memahami arah program nuklir Iran di masa depan.
Perang 12 hari dimulai dengan serangan Israel terhadap situs nuklir Iran dan pembunuhan ilmuwan penting. Iran merespons dengan serangan rudal ke Israel, yang kemudian diikuti oleh keterlibatan AS dengan menyerang Fordow, Natanz, dan Isfahan. Iran membalas dengan menargetkan pangkalan udara Al Udeid di Qatar.
Pilihan Strategis Iran: Diplomasi atau Pengembangan Bom Nuklir?
Dekade Perseteruan
Konflik ini menandai eskalasi dalam perseteruan panjang mengenai program nuklir Iran. Sejak AS menarik diri dari kesepakatan nuklir 2015, Iran diduga telah memperluas program nuklirnya, melanggar batasan pengayaan dan persediaan. Meskipun demikian, Iran membantah memiliki niat untuk membuat senjata nuklir dan menegaskan bahwa programnya bersifat sipil dan damai.
Fokus utama penilaian awal adalah pada lokasi pengayaan uranium di Fordow dan Natanz, serta fasilitas konversi uranium di Isfahan. Citra satelit dan laporan intelijen menunjukkan bahwa fasilitas-fasilitas tersebut mengalami kerusakan berat, mengganggu operasi pengayaan dan pemrosesan. Namun, tingkat kerusakan pasti masih belum jelas tanpa penilaian langsung dari Iran.
Kepala Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyatakan bahwa serangan menyebabkan kerusakan "parah" tetapi tidak total, dan Iran dapat memulai kembali pengayaan uranium dalam beberapa bulan. Nasib stok uranium Iran yang diperkaya hingga 60% juga menjadi tanda tanya.
Program Nuklir Tak Terhentikan?
Meskipun fasilitas nuklir Iran rusak parah, kecil kemungkinan Iran akan menghentikan program nuklirnya. Iran dapat membangun kembali sentrifus yang hancur dengan cepat, meskipun mengganti persediaan uranium yang hilang akan memakan waktu lebih lama. Pengetahuan dan kapasitas industri untuk melanjutkan program nuklirnya juga masih ada.
Bagi Iran, program nuklir telah menjadi simbol pembangkangan dan kebanggaan. Salah satu langkah Iran pasca-perang adalah menyetujui RUU Parlemen untuk menangguhkan, tetapi tidak mengakhiri, kerja sama dengan IAEA. Selama perang, Iran juga mengancam akan meninggalkan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT).
Bom Nuklir Sebagai Pilihan?
Serangan AS-Israel telah mengejutkan para pemimpin dan publik Iran, mendorong beberapa pihak untuk menyerukan peningkatan persenjataan nuklir. Keinginan untuk mengembangkan penangkal nuklir tampaknya lebih kuat dari sebelumnya, meskipun Israel dan AS akan mengawasi dengan ketat tindakan Iran dalam beberapa bulan dan tahun mendatang.
Negosiasi Sebagai Pilihan Terakhir
Kembali ke perundingan nuklir dengan AS mungkin sulit, mengingat kehati-hatian yang meningkat. Namun, diplomasi dengan Iran tetap diperlukan karena serangan militer belum menyelesaikan masalah nuklir. Upaya mediasi sedang dilakukan untuk meletakkan dasar bagi perundingan baru. Iran mungkin kembali ke perundingan jika kondisi pascaperang mencakup jaminan keamanan, bantuan ekonomi, dan peran regional yang diperluas.
Trauma Iran Dibohongi
Ketidakpastian atas kemungkinan kembalinya negosiasi, bersama dengan perang kata-kata yang sedang berlangsung, menunjukkan bahwa kedua negara sedang menilai kembali strategi dan mendefinisikan ulang posisi mereka pasca-perang.