Dalam beberapa tahun belakangan, Indosat, XL Axiata, Telkomsel, dan Tri seolah menjadi penguasa tunggal dalam penyediaan akses internet. Namun, kini, kehadiran layanan WiFi rumahan yang semakin terjangkau telah menjadi pesaing serius, bahkan mengancam dominasi perusahaan telekomunikasi raksasa tersebut. Fenomena ini memunculkan pertanyaan penting: bagaimana etika persaingan bisnis di era digital ini diterapkan?
Pandemi Covid-19 memicu pertumbuhan pesat pengguna internet, didorong oleh tren work from home dan study from home. Situasi ini membuka peluang bagi penyedia layanan WiFi rumahan untuk berkembang. Banyak pemain baru menawarkan paket internet tanpa batas (unlimited) dengan kecepatan yang memadai dan harga yang jauh lebih menarik dibandingkan paket data seluler. Sebagai gambaran, paket WiFi lokal seringkali ditawarkan mulai dari Rp100.000 hingga Rp250.000 per bulan, cukup untuk memenuhi kebutuhan internet rumah tangga. Bandingkan dengan paket data seluler yang seringkali memiliki batasan FUP (Fair Usage Policy) atau biaya yang melambung jika digunakan untuk tethering atau banyak perangkat. Kemudahan pemasangan, fleksibilitas paket, dan harga yang bersaing menjadikan WiFi rumahan sebagai pilihan utama bagi banyak keluarga dan individu.
Kehadiran WiFi murah menghadirkan tantangan besar bagi operator seluler. Banyak pengguna yang kini mengandalkan WiFi rumahan sebagai sumber internet utama di rumah, yang menyebabkan penurunan konsumsi data seluler bulanan. Data seluler kini lebih difokuskan untuk konektivitas di luar rumah. Selain itu, persaingan harga yang ketat memaksa operator seluler untuk menawarkan paket data dengan harga lebih rendah atau kuota yang lebih besar, yang berpotensi mengurangi margin keuntungan mereka. Hal ini tercermin dari berbagai promo yang sering ditawarkan oleh operator. Dari sisi infrastruktur, operator seluler telah berinvestasi besar-besaran pada jaringan seluler, sementara penyedia WiFi lebih fokus pada jaringan fiber optic atau wireless lokal. Perbedaan model bisnis ini menuntut operator besar untuk beradaptasi.
Tentu saja, fenomena ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan etika bisnis. Apakah persaingan ini sehat atau justru saling menjatuhkan? Apakah diskon besar-besaran menguntungkan semua pihak atau malah mengarah pada praktik predatory pricing untuk menyingkirkan pesaing kecil? Pada akhirnya, maraknya WiFi murah mencerminkan dinamika pasar yang sehat, di mana kompetisi seharusnya menguntungkan konsumen dengan harga yang lebih baik dan pilihan yang lebih beragam. Dalam upaya menawarkan harga yang terjangkau, penyedia WiFi atau operator seluler tetap perlu menjaga kualitas layanan, kecepatan, dan stabilitas jaringan. Semua syarat dan ketentuan, termasuk FUP, kecepatan minimal, atau potensi biaya tersembunyi, harus dijelaskan secara transparan kepada konsumen, karena kurangnya transparansi dapat menjadi masalah etika yang serius.
Baik penyedia WiFi maupun operator seluler, perlu memastikan bahwa persaingan ini berjalan sesuai dengan koridor etika bisnis, menjunjung tinggi transparansi, kualitas layanan, dan keadilan bagi semua pemain di pasar. Dengan demikian, konsumen dapat menikmati konektivitas yang tidak hanya murah, tetapi juga berkualitas dan dapat diandalkan.