"Hotel Sakura": Nostalgia Horor Jepang Berbalut Misteri Lokal yang Menegangkan

Film horor Hotel Sakura hadir sebagai angin segar di tengah dominasi film horor yang itu-itu saja. Film ini mencoba membangkitkan kenangan akan film horor Jepang era 90-an, namun dengan sentuhan kisah lokal yang kental. Ide yang menarik, namun eksekusinya tidaklah mudah.

Upi Avianto dan Ian Adiwibowo sebagai penulis, serta Krishto D Alam sebagai sutradara, menghadapi tantangan berat: menggabungkan elemen horor ala Sadako dengan latar kehidupan masyarakat Indonesia. Hasilnya, film ini memiliki kekuatan di satu sisi, namun juga kelemahan di sisi lain.

Alur cerita Hotel Sakura cukup membuat merinding dengan kombinasi thriller psikologis. Ada beberapa bagian yang berhasil menciptakan suasana mencekam, lebih dari sekadar jumpscare. Bahkan, jumpscare dalam film ini tidak terlalu mengagetkan. Krishto, yang melanjutkan pekerjaan Rudy Soedjarwo, berhasil merekam momen-momen tersebut dengan natural. Ia memahami bagaimana imaji paranoid terhadap penampakan bekerja dalam benak orang awam.

Film ini bercerita tentang dua sahabat yang menginap di hotel kuno berhantu. Penampakan-penampakan standar, seperti sosok lewat, sosok di kaca, atau di atas lemari, dikemas dengan natural, tanpa dibuat berlebihan. Gaya penggarapan ini mengingatkan pada film horor awal tahun 2000-an, seperti Pocong dan Jelangkung, yang terasa lebih horor karena suasana yang muncul secara alami.

Tim tata rias dan wardrobe Hotel Sakura patut diacungi jempol. Mereka telaten dan detail dalam menciptakan riasan menakutkan untuk karakter Setsuko dan setan-setan lainnya. Riasan untuk adegan penemuan di kamar nomor 8, dengan sorotan kamera dan senter yang tepat, sangat membekas di ingatan.

Namun, Hotel Sakura juga memiliki catatan merah. Percakapan dan alur cerita di paruh pertama film terasa kurang mulus. Para pemain juga terlihat belum sepenuhnya masuk ke dalam cerita di awal. Hubungan Clara Bernadeth dan Taskya Namya terasa kaku. Untungnya, memasuki permasalahan utama, Taskya dan Clara mulai lebih cair. Taskya lebih menonjol dalam memerankan karakter Nida, meskipun pusat cerita ada pada Clara.

Efek visual pada sosok Setsuko terasa kurang diperlukan. Meskipun sedikit, efek visual tersebut justru mengurangi estetika dan keasliannya.

Donny Damara dan Tio Pakusadewo berhasil memberikan suasana horor, bukan dari dialog atau penampilan, melainkan dari gestur dan tatapan yang misterius, creepy, dan mencurigakan.

Secara keseluruhan, paruh kedua Hotel Sakura lebih baik dari awalnya. Film ini mungkin tidak akan memuaskan semua penonton, tetapi setidaknya berhasil menghadirkan nostalgia horor Jepang dengan sentuhan lokal yang unik.

Scroll to Top