Senin, 14 Juli 2025, menandai dimulainya program Sekolah Rakyat di 63 lokasi di seluruh Indonesia. Sebuah inisiatif ambisius dari pemerintah yang bertujuan memberikan pendidikan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu. Namun, program ini menuai kritik karena dianggap terburu-buru dan kurang kajian mendalam.
Harapan di Tengah Keterbatasan Ekonomi
Bagi Nur’aini (39) dari Padang, Sekolah Rakyat adalah harapan. Dengan penghasilan tak menentu sebagai tukang setrika, ia ingin anaknya, Cahaya Putri Wisabila (12), memiliki masa depan yang lebih baik. Hani Olivia Guterres (12) dari Kupang, meski sedih berpisah dari ibunya, Maria Novita Tefa (43), juga menaruh harapan besar. Sementara di Jakarta, Yulianah (35) melihat Sekolah Rakyat sebagai solusi pendidikan bagi anaknya, Dina Rostina (13).
Informasi yang Sampai ke Masyarakat
Informasi mengenai Sekolah Rakyat sampai ke masyarakat melalui berbagai cara. Ada yang melalui Dinas Sosial, pendamping Program Keluarga Harapan (PKH), bahkan petugas Sentra Efata. Meskipun demikian, banyak yang baru memahami detail program ini setelah didatangi langsung oleh petugas.
Konsep yang Dipertanyakan
Sekolah Rakyat menawarkan konsep asrama, kurikulum yang diklaim komprehensif, dan pelibatan TNI dalam pembentukan karakter. Namun, konsep ini memunculkan pertanyaan. Pengamat pendidikan menilai, Sekolah Rakyat dapat menciptakan segregasi sosial dan berdampak buruk pada psikologis anak. Stigma "sekolah orang miskin" juga menjadi kekhawatiran.
Kenapa Bukan Sekolah Negeri?
Pemerintah berdalih, Sekolah Rakyat bukan sekadar gratis, tapi juga memenuhi kebutuhan personal siswa. Kurikulumnya pun berbeda, menggabungkan kurikulum nasional dengan metode dari berbagai sekolah unggulan. Pelibatan TNI bertujuan melatih kedisiplinan dan kemandirian.
Fasilitas yang Dijanjikan
Fasilitas yang dijanjikan cukup memadai: laptop, seragam, buku, makan tiga kali sehari, dan asrama. Namun, ada kekhawatiran mengenai kesiapan fasilitas dan kurangnya ruang untuk mencuci pakaian.
Kritik dan Kekhawatiran
Para pakar pendidikan menilai program ini gegabah dan minim kajian. Pelibatan TNI dan konsep asrama juga dipertanyakan efektivitasnya. Renovasi gedung untuk Sekolah Rakyat bahkan berdampak pada pemindahan siswa SLB, memicu kekhawatiran akan nasib pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus.
Anggaran yang Fantastis
Pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 1,19 triliun untuk Sekolah Rakyat tahun ajaran 2025/2026. Namun, banyak pihak menilai anggaran ini lebih baik dialokasikan untuk meningkatkan kualitas guru, membangun sekolah negeri, dan memastikan pendidikan yang inklusif bagi semua anak.
Sekolah Rakyat, dengan segala ambisinya, masih menyisakan banyak pertanyaan. Apakah program ini benar-benar mampu menjadi solusi pendidikan bagi anak-anak kurang mampu, atau justru menciptakan masalah baru? Waktu yang akan menjawab.