Paradigma Kesehatan Indonesia: Lebih Baik Mencegah daripada Mengobati, Mungkinkah?

Indonesia masih berkutat dengan paradigma kesehatan yang lebih fokus pada pengobatan daripada pencegahan. Rumah sakit megah menjamur, industri farmasi berkembang pesat, dan iklan obat-obatan membanjiri media. Masyarakat seolah didorong untuk tidak takut sakit karena semua penyakit ada obatnya.

Padahal, promosi kesehatan modern menekankan bahwa kesehatan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya sektor medis. Perlu upaya lintas sektor, mulai dari kebijakan publik yang mendukung gaya hidup sehat, lingkungan yang kondusif untuk perilaku sehat, hingga pemberdayaan masyarakat.

Sayangnya, industri pendukung kesehatan di Indonesia lebih ramai di hilir. Jumlah rumah sakit meningkat pesat, sementara ruang terbuka hijau (RTH) di kota-kota besar semakin sempit. Proporsi RTH di perkotaan jauh di bawah standar minimal.

Ironi Industri Pangan

Iklan makanan manis, makanan cepat saji, dan rokok masih mendominasi media. Anak-anak Indonesia sangat terpapar iklan makanan tidak sehat, terutama di platform digital. Hal ini sejalan dengan meningkatnya obesitas pada anak, sementara masalah gizi kurang dan kekurangan zat gizi mikro masih tinggi. Indonesia menghadapi beban ganda masalah gizi (triple burden malnutrition): gizi kurang, gizi lebih, dan kekurangan mikronutrien.

Negara-negara seperti Jepang, Singapura, dan Korea Selatan lebih dulu memperkuat kebijakan pencegahan. Jepang, misalnya, memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang serius menjaga kesehatan pekerjanya. Mereka sadar, tenaga kerja yang sehat berarti produktivitas tinggi dan pasar yang stabil. Singapura menerapkan program yang menargetkan warganya untuk aktif bergerak, makan lebih sehat, dan rutin memeriksa kesehatan. Mereka bekerja sama dengan industri makanan dan ritel untuk memperbanyak pilihan pangan rendah gula dan rendah garam. Hasilnya, biaya kesehatan terkendali, angka harapan hidup tinggi, dan pekerja tetap produktif di usia lanjut.

Biaya penyakit akibat gaya hidup tidak sehat sangat mahal. Penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, kanker, stroke, dan gagal ginjal menguras sebagian besar dana BPJS Kesehatan. Padahal, mayoritas kasus ini sangat bisa dicegah melalui pola hidup sehat dan lingkungan yang mendukung.

Indonesia memiliki potensi pangan lokal sehat yang melimpah, tetapi kalah bersaing dengan junk food yang promosinya masif. Warisan budaya makan bersama, gotong royong, dan aktivitas fisik berbasis komunitas bisa dihidupkan kembali sebagai modal sosial untuk mencegah penyakit.

Investasi pada pencegahan masih minim. Anggaran kesehatan lebih banyak dialokasikan untuk upaya pengobatan daripada promosi dan pencegahan penyakit. Mayoritas anggaran kesehatan digunakan untuk Upaya Pelayanan Kuratif (UPK), sementara untuk Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) jumlahnya jauh lebih kecil. Padahal, sebagian besar faktor risiko penyakit tidak menular dapat ditekan melalui intervensi gaya hidup dan lingkungan sehat.

Jika ingin berdaulat dalam kesehatan dan ekonomi, Indonesia perlu membalik logika industri: membangun ekosistem yang berpihak pada orang sehat. Bukan sekadar mendirikan rumah sakit, tetapi memperbanyak taman kota, jalur sepeda, akses pangan sehat terjangkau, pembatasan iklan produk tidak sehat, serta insentif bagi perusahaan yang serius membina pekerja agar tetap bugar.

Industri makanan lokal perlu naik kelas, memperkuat branding produk sehat dari petani dan UMKM ke pasar modern. Program Corporate Social Responsibility (CSR) seharusnya diarahkan pada membangun kebiasaan hidup sehat di lingkungan kerja dan komunitas sekitar. Pemerintah pun harus berani mengenakan cukai yang adil untuk produk-produk yang terbukti merusak kesehatan, dan menggunakan dana itu untuk memperluas fasilitas kesehatan promotif.

Orang Sehat Adalah Aset Negara

Industri yang berpihak pada orang sehat adalah panggilan moral sekaligus strategi berkelanjutan bagi dunia usaha. Kita butuh lebih banyak produsen pangan sehat, pengembang perumahan dengan ruang hijau memadai, transportasi publik yang mendukung mobilitas aktif, serta kebijakan fiskal yang memberi insentif bagi perusahaan yang benar-benar serius menjaga kesehatan pekerjanya. Dengan ekosistem yang mendukung orang tetap sehat, bangsa ini akan lebih kuat, produktif, dan tahan menghadapi beban penyakit di masa depan.

Scroll to Top