Industri Mebel Indonesia Terancam PHK Massal Akibat Tarif Impor AS

Kebijakan tarif impor sebesar 32% yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) terhadap produk dari Indonesia menimbulkan kekhawatiran besar, terutama bagi industri yang berorientasi ekspor seperti mebel. Kebijakan ini berpotensi memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang signifikan.

Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) memperkirakan, tanpa langkah mitigasi yang efektif, sekitar 270 ribu tenaga kerja di sektor ini terancam kehilangan pekerjaan secara bertahap. Kenaikan tarif akan membuat harga produk mebel Indonesia di pasar AS melonjak antara 20-35%. Sebagai contoh, harga kursi kayu yang semula dijual US$ 100 per unit bisa naik menjadi US$ 120-135.

Kenaikan harga ini diperkirakan akan menurunkan permintaan dari pembeli AS yang sangat sensitif terhadap perubahan harga. Mereka berpotensi beralih ke negara pesaing yang menawarkan harga lebih kompetitif. Akibat penurunan permintaan, industri mebel Indonesia akan mengurangi kapasitas produksi, sementara biaya operasional tetap harus ditanggung. Kondisi ini memicu potensi terjadinya PHK massal.

Saat ini, sudah ada indikasi penurunan permintaan dari pembeli AS. Beberapa anggota HIMKI di pusat produksi mebel seperti Jepara, Pasuruan, Cirebon, dan Sukoharjo melaporkan penurunan pesanan hingga 20-30% dibandingkan tahun sebelumnya. Beberapa pabrik skala kecil dan menengah mulai mengurangi jam kerja, bahkan melakukan perampingan tenaga kerja untuk bertahan.

Meskipun demikian, pelaku usaha tetap optimistis dan berupaya mencari solusi. Mereka akan mengoptimalkan jalur diplomasi, berkolaborasi dengan kementerian terkait, dan mencari solusi bisnis bersama anggota HIMKI untuk menghindari dampak PHK massal. Salah satu cara yang ditempuh adalah mempercepat relokasi produksi atau diversifikasi produk ke segmen yang bernilai tambah lebih tinggi dan tidak terlalu sensitif terhadap perang tarif, seperti produk customized, produk mewah, atau produk berbahan baku berkelanjutan.

HIMKI juga mendorong pemerintah untuk memberikan insentif di dalam negeri, seperti insentif pajak, pembiayaan murah, dan stimulus pembelian dalam negeri untuk menjaga perputaran produksi dan lapangan kerja.

Sebelumnya, Pemerintah Indonesia telah melakukan negosiasi dengan AS dan berhasil mendapatkan penundaan penerapan tarif sebesar 32%. Penundaan ini memberikan waktu tiga minggu untuk melakukan negosiasi lanjutan dan menyelesaikan finalisasi kesepakatan.

Scroll to Top