Pemerintah baru-baru ini mengungkap adanya 212 merek beras, baik medium maupun premium, yang diduga merupakan hasil oplosan dan tersebar di 10 provinsi. Temuan ini bermula dari penggerebekan sebuah gudang di Serang, Banten, di mana polisi menemukan praktik curang berupa pengemasan ulang beras Bulog yang sudah diputihkan dengan merek lain.
Beras oplosan ini dipasarkan di wilayah Bogor, Tangerang, Serang, dan Cilegon. Para pelaku diperkirakan meraup keuntungan hingga Rp732 juta hanya dalam kurun waktu Desember 2023 hingga Maret 2024.
Kementerian Pertanian (Kementan) melakukan pengujian kualitas terhadap 268 sampel beras dari 212 merek tersebut pada 6 hingga 23 Juni 2024. Hasilnya, mayoritas beras premium (85,56%) tidak memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Selain itu, ditemukan juga bahwa 59,78% beras premium dijual melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET), dan sekitar 21,66% memiliki berat yang kurang dari yang tertera pada kemasan.
Kondisi serupa juga terjadi pada beras medium, di mana 88,24% tidak memenuhi standar mutu SNI. Lebih parah lagi, 95,12% beras medium dijual di atas HET, dan 9,38% memiliki selisih berat yang merugikan konsumen.
Masalah ini, menurut pengamat, berakar dari ketidakseimbangan antara Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) dengan HET beras. Kenaikan HPP GKP sebesar 47% sejak penanganan beras dialihkan ke Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada 2023, tidak diimbangi dengan kenaikan HET beras yang signifikan (medium hanya naik 30% dan premium 16%). Hal ini menyebabkan banyak penggilingan padi gulung tikar dan mendorong praktik oplosan beras.
Pengawasan yang lemah juga menjadi sorotan. Distribusi beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) dinilai rentan terhadap kebocoran karena rantai distribusinya yang panjang. Sebagian besar (80%) beras SPHP diduga tidak sampai ke penerima manfaat yang sesuai.
Para pengamat mendesak pemerintah untuk segera membenahi sistem tata niaga beras. Hal ini meliputi penyesuaian HPP GKP dan HET beras, peningkatan pengawasan distribusi beras SPHP, serta penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku praktik oplosan. Selain itu, pemerintah juga disarankan untuk mengatur tata niaga beras dengan lebih ketat, seperti yang diterapkan di negara lain, serta menerapkan sistem pelacakan daring (traceability) untuk memastikan mutu beras. Pemerintah perlu membentuk satuan tugas khusus untuk mengatasi masalah mafia beras.