Di era serba digital ini, QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Data terbaru menunjukkan, di kuartal pertama tahun 2025, QRIS telah digunakan oleh 56,3 juta orang dengan total transaksi mencapai 2,6 miliar. Kemudahan yang ditawarkan QRIS, membuat sistem pembayaran non-tunai ini merambah hingga ke warung-warung kecil.
Namun, adaptasi terhadap teknologi ini tidak selalu berjalan mulus bagi semua orang. Kisah Tunggal (25), seorang pekerja swasta di Semarang, bisa menjadi contohnya. Awalnya, Tunggal lebih nyaman dengan cara transaksi konvensional, seperti melalui ATM atau langsung ke bank. Bahkan, meskipun sudah memiliki mobile banking (m-banking), ia hanya menggunakannya untuk mengecek saldo.
"Sudah terbiasa dari kuliah, transfer atau bayar online ya tetap lewat ATM," ujarnya.
Ketakutan akan kesalahan dan kerumitan sistem digital menjadi alasan utama keengganannya. "Kalau digital, kayak takut aja ada kesalahan, uangku berkurang tapi nggak terkirim," jelasnya.
Titik balik terjadi ketika Tunggal terpaksa menggunakan QRIS saat membeli siomay. Penjual siomay yang tidak memiliki uang kembalian, memintanya untuk membayar menggunakan QRIS. Pengalaman pertama ini ternyata cukup menegangkan. Kamera ponselnya yang kurang memadai, membuat proses pemindaian QR code berjalan sulit. Alhasil, dengan bantuan penjual siomay, transaksi akhirnya berhasil dilakukan.
Sejak saat itu, Tunggal mulai membiasakan diri dengan QRIS. Ia mengakui, pembayaran menggunakan QRIS jauh lebih efisien dan praktis. Namun, kemudahan ini juga membawa dampak negatif. Tunggal menjadi kesulitan mengontrol pengeluaran harian.
"Kalau pakai uang tunai kan tahu jatah sehari segini. Kalau pakai QRIS kok bablas aja, terlena," ungkapnya.
Akibatnya, tanggal tua datang lebih cepat. Tunggal menyadari, masalahnya bukan pada QRIS atau m-banking, melainkan pada dirinya sendiri yang kurang pandai mengelola keuangan. Saat ini, ia kembali memperbanyak penggunaan uang tunai sambil belajar mengatur keuangannya dengan lebih baik.
Kisah Tunggal ini menjadi cerminan bagi kita semua. QRIS memang menawarkan kemudahan dan efisiensi dalam bertransaksi. Namun, kita juga perlu bijak dalam menggunakannya agar tidak terjerumus dalam pola konsumtif yang berlebihan. Teknologi adalah alat, dan kita sebagai penggunanya, harus mampu mengendalikan alat tersebut agar memberikan manfaat yang maksimal.