Pandemi COVID-19 dan Ketidaksetaraan Vaksin: Tinjauan Marxisme terhadap Kapitalisme Global

Pandemi COVID-19 mengguncang dunia, mengungkap kerentanan sistem global di berbagai sektor, termasuk kesehatan dan ekonomi. Di tengah ketidakpastian, vaksin muncul sebagai harapan, namun akses yang tidak merata justru memperlihatkan ketidaksetaraan global yang mengakar. Perspektif Marxisme menawarkan lensa untuk memahami fenomena ini, menyoroti bagaimana kapitalisme global terus melanggengkan ketimpangan dan ketergantungan.

Marxisme: Analisis Kelas dalam Skala Global

Marxisme, sebagai teori sosial-politik, memandang sejarah manusia sebagai arena pertarungan kelas. Dalam sistem kapitalisme, masyarakat terbagi menjadi dua kelas utama: borjuis (pemilik modal dan alat produksi) dan proletariat (kelas pekerja). Teori ini mengkritik struktur ekonomi-politik yang menghasilkan ketimpangan dan melegitimasi eksploitasi.

Dalam konteks global, negara-negara maju bertindak sebagai "borjuis global," mengendalikan modal, teknologi, dan sumber daya. Sementara itu, negara-negara berkembang menjadi "proletar global," bergantung pada negara maju untuk akses sumber daya, teknologi, dan bahkan kebutuhan dasar seperti kesehatan. Ketidaksetaraan akses vaksin COVID-19 menjadi contoh konkret bagaimana logika kapitalisme tetap beroperasi bahkan di tengah krisis global.

Vaksin Sebagai Komoditas: Kritik Terhadap Kapitalisme

Marxisme mengkritik kecenderungan kapitalisme untuk mengkomodifikasi segala sesuatu demi keuntungan, termasuk kebutuhan dasar manusia. Vaksin COVID-19 tidak luput dari logika ini. Perusahaan farmasi besar berlomba memproduksi vaksin, mematenkannya, dan memonopoli distribusinya.

Negara-negara kaya mengamankan stok vaksin dalam jumlah besar, bahkan melebihi kebutuhan populasi mereka, sebuah praktik yang dikenal sebagai "nasionalisme vaksin." Negara-negara berkembang harus "mengantre," membeli vaksin dengan harga tidak kompetitif, atau bergantung pada donasi. Hal ini memunculkan pertanyaan: mengapa sesuatu yang seharusnya menjadi barang publik global diperlakukan sebagai barang mewah? Jawaban terletak pada kontrol atas alat produksi yang dipegang oleh korporasi multinasional dan negara-negara pendukungnya.

COVAX: Solusi atau Sekadar Skema Ketergantungan?

Inisiatif COVAX, yang bertujuan mendistribusikan vaksin secara adil, juga mendapat kritik. Meskipun dibentuk oleh organisasi internasional, COVAX tetap bergantung pada negara maju dan perusahaan farmasi untuk pasokan vaksin. Negara berkembang diposisikan sebagai penerima pasif, memperpanjang jerat ketergantungan dan memperkuat posisi subordinat mereka.

Ketimpangan di Berbagai Tingkatan

Ketidaksetaraan akses vaksin tidak hanya terjadi antarnegara, tetapi juga dalam satu negara. Kalangan elit, masyarakat perkotaan, dan tenaga kesehatan umumnya mendapat akses lebih mudah, sementara masyarakat terpencil dan miskin harus menunggu. Ini mencerminkan ketimpangan sosial yang menjadi fokus kritik Marxisme.

Kesehatan, dalam pandangan Marxisme, adalah isu politik. Akses terhadap layanan kesehatan, termasuk vaksin, ditentukan oleh posisi ekonomi dan kelas sosial seseorang. Pandemi ini memperjelas struktur kelas yang sebelumnya mungkin tidak terlihat begitu nyata.

Kesehatan Sebagai Medan Perebutan Kuasa

Kapitalisme modern cenderung menciptakan krisis yang kemudian diubah menjadi peluang bisnis. Perusahaan farmasi mencatat rekor keuntungan selama pandemi, sementara jutaan orang meninggal. Bagi Marxisme, ini adalah bentuk eksploitasi yang nyata: menciptakan penderitaan untuk meraup keuntungan maksimal.

Kontrol atas vaksin juga menjadi alat politik dan diplomasi. Negara-negara yang mendonasikan vaksin sering kali memanfaatkannya untuk meningkatkan pengaruh politik mereka.

Menuju Kemandirian

Ketidaksetaraan akses vaksin COVID-19 memberikan pelajaran berharga. Dunia tidak bisa terus bergantung pada sistem kapitalisme yang ada. Negara-negara berkembang perlu meningkatkan kemandirian, salah satunya dengan menantang sistem paten internasional yang dikuasai oleh negara maju dan perusahaan farmasi. Usulan penghentian paten, yang diajukan oleh India dan Afrika Selatan di WTO, sayangnya ditolak.

Negara berkembang juga perlu meningkatkan riset dan membangun kapasitas industri farmasi dalam negeri. Layanan kesehatan nasional yang kuat tidak bisa dibangun hanya dengan mengandalkan kiriman vaksin dari luar.

Saat Kelas Menentukan Hidup dan Mati

Pandemi COVID-19 mengingatkan kita bahwa bahkan di saat krisis kesehatan global, ada krisis kesetaraan dan keadilan yang lebih besar. Dalam sistem dunia yang didominasi oleh kapitalisme, hak atas kesehatan sering kali menjadi alat kekuasaan.

Akses terhadap vaksin yang timpang bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari struktur global yang menempatkan kekuasaan atas produksi dan distribusi di tangan segelintir elit. Pemulihan global yang sedang berlangsung harus mempertimbangkan pertanyaan: pemulihan untuk siapa?

Jika kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya masih ditentukan oleh kelas sosial, dunia pasca-pandemi akan tetap tidak adil. Oleh karena itu, pengalaman ketimpangan akses vaksin selama pandemi COVID-19 seharusnya mendorong kita untuk menuntut sistem yang lebih adil bagi semua.

Scroll to Top