Di tengah turbulensi perdagangan global yang melanda berbagai negara, Indonesia justru menunjukkan ketahanan ekspor yang luar biasa ke Uni Eropa. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, kinerja ekspor ini stabil, bahkan pada tahun 2024 mencapai US$17,28 miliar. Angka ini membuktikan bahwa hubungan dagang antara Indonesia dan Eropa bukan hanya soal harga, tetapi juga tentang kebutuhan mendasar yang sulit digantikan.
Laporan terbaru mengungkap bahwa banyak produk unggulan Indonesia, seperti minyak sawit mentah (CPO), karet alam, bahan kimia industri, hingga tekstil memiliki permintaan yang inelastis di pasar global. Artinya, meskipun harga naik, permintaan terhadap produk-produk ini tetap tinggi karena menjadi komponen vital dalam rantai pasok berbagai industri.
Sulit membayangkan bagaimana pabrik makanan dan kosmetik dapat beroperasi tanpa CPO, atau industri otomotif tanpa karet dan bahan kimia dari Indonesia. Produk-produk ini telah terintegrasi secara mendalam dalam proses produksi di Eropa, mulai dari sektor energi hingga kebutuhan sehari-hari, sehingga sulit untuk mencari pemasok alternatif. Keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia membuat negara ini tetap kompetitif dibandingkan negara pesaing.
Permintaan yang inelastis ini menjaga stabilitas ekspor Indonesia, bahkan ketika terjadi kenaikan tarif perdagangan atau pelemahan pasar global. Mengingat profil permintaan pasar Eropa serupa dengan Amerika Serikat, Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) akan menjadi penyelamat bagi sektor manufaktur Indonesia. Meskipun ada tekanan dari tarif perdagangan baru, ketidakpastian geopolitik, atau perlambatan ekonomi global, volume permintaan komoditas utama Indonesia tetap relatif stabil. Industri Eropa seolah tidak memiliki banyak pilihan selain terus mengimpor bahan baku yang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari proses produksinya.
Dengan kondisi ini, IEU-CEPA bukan hanya sekadar perjanjian dagang biasa, tetapi juga menjadi pintu gerbang untuk memperkuat fondasi ekspor Indonesia di masa depan, terutama untuk produk manufaktur yang juga memiliki tingkat ketergantungan tinggi di pasar Eropa. Inilah mengapa ekspor Indonesia ke Uni Eropa dapat diibaratkan "tenang di tengah badai," karena posisi strategis komoditas Indonesia sudah begitu melekat dalam denyut ekonomi kawasan tersebut.
Tren Ekspor 5 Tahun Terakhir
Data menunjukkan bahwa ekspor Indonesia ke Uni Eropa mencapai puncaknya pada tahun 2022 dengan nilai US$21,25 miliar, kemudian mengalami koreksi pada tahun 2023 sebelum kembali stabil di tahun 2024. Fluktuasi ini erat kaitannya dengan siklus harga komoditas global dan penyesuaian kebijakan Uni Eropa, seperti EU Deforestation Regulation (EUDR). Meskipun demikian, penurunan tidak sedalam pasar Amerika Serikat karena Eropa tetap membutuhkan pasokan bahan baku strategis seperti CPO dan produk kimia.
Belanda, Italia, Jerman, Spanyol, dan Belgia menjadi pintu gerbang utama ekspor Indonesia ke Eropa. Belanda berperan sebagai hub logistik utama berkat Pelabuhan Rotterdam. Italia unggul di sektor otomotif dan fesyen, Jerman pada industri kimia dan mesin, Spanyol banyak menyerap produk perikanan dan sawit, sementara Belgia kuat di bahan kimia dan karet olahan.
Beberapa komoditas utama Indonesia diekspor ke negara-negara tersebut, antara lain:
- Italia: karet alam, tekstil, komponen otomotif
- Belanda: CPO & turunannya, kopi, kakao, produk perikanan
- Belgia: bahan kimia, karet olahan, elektronik sederhana
Karena produk-produk ini terhubung langsung dengan rantai pasok industri strategis Eropa, permintaannya tidak mudah digantikan. Inilah yang menyebabkan sifatnya inelastis. Lima tahun terakhir membuktikan betapa industri Eropa bergantung pada komoditas strategis Indonesia.
Dengan IEU-CEPA yang akan segera berjalan, akses pasar Eropa akan lebih terjamin, membuka peluang baru bagi produk manufaktur bernilai tambah, sekaligus mengurangi ketergantungan pada pasar Amerika Serikat yang tarifnya semakin proteksionis.