Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan penegasan terkait pengelolaan utang pemerintah yang akan terus dilakukan secara cermat dan terukur. Hal ini disampaikan di hadapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat Paripurna terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan (P2) APBN Tahun Anggaran 2024.
Sri Mulyani menekankan komitmen pemerintah untuk terus memantau indikator kesehatan utang secara seksama. "Pemerintah memastikan pengelolaan profil utang akan dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan terukur. Kami akan terus mewaspadai berbagai indikator kesehatan utang," ujarnya.
Sorotan terhadap utang negara muncul dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Kedua fraksi menyoroti peningkatan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang mencapai 39,81% di akhir tahun 2024, naik dari 39,21% pada tahun sebelumnya. Kenaikan ini dikhawatirkan dapat membebani APBN 2025 untuk pembayaran utang.
Kekhawatiran tersebut beralasan, mengingat beban pembayaran bunga utang mengalami peningkatan sebesar 11,04%, dari Rp 439,88 triliun di tahun 2023 menjadi Rp 488,43 triliun di tahun 2024. Peningkatan ini berpotensi mengurangi alokasi belanja untuk kesejahteraan rakyat dan mempersempit ruang fiskal.
Menanggapi sorotan tersebut, Sri Mulyani menyatakan pemerintah memahami kekhawatiran fraksi PKB dan PKS terkait realisasi belanja pembayaran bunga utang. Pemerintah akan terus memonitor risiko-risiko seperti suku bunga utang, nilai tukar, dan kebutuhan pembiayaan ulang (refinancing) untuk menjaga batas aman dalam jangka pendek maupun jangka menengah.
"Pekerjaan rumah untuk pendalaman pasar uang dan pasar obligasi di Indonesia masih harus ditingkatkan. Untuk itu, kami akan bekerja sama dengan otoritas moneter OJK dan industri keuangan," jelas Sri Mulyani.
Sebelumnya, Sri Mulyani juga mengungkapkan bahwa kewajiban pemerintah hingga akhir 2024 mencapai Rp 10.269 triliun, yang mencakup utang dan berbagai kewajiban lainnya. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Suminto, menjelaskan bahwa kewajiban pemerintah memiliki cakupan yang lebih luas daripada sekadar utang.
Kewajiban pemerintah, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 57 Tahun 2023, timbul sebagai konsekuensi pelaksanaan tugas atau tanggung jawab di masa lalu. Kewajiban ini terbagi menjadi jangka pendek (jatuh tempo dalam 12 bulan) dan jangka panjang (jatuh tempo lebih dari satu tahun), meliputi berbagai aspek seperti pinjaman, gaji pegawai, biaya kompensasi, iuran ke lembaga internasional, utang luar negeri, surat utang negara, kewajiban pensiun, dan cicilan pengadaan barang dan jasa. Kewajiban ini dapat dipaksakan secara hukum berdasarkan kontrak atau peraturan perundang-undangan.