Beras Tekad: Ketika Indonesia Mencari Alternatif Nasi di Tengah Krisis Pangan

Di tahun 1968, dunia menghadapi kemarau panjang yang mengakibatkan menipisnya cadangan pangan global, termasuk beras. Indonesia, yang saat itu sangat bergantung pada impor beras, merasakan dampaknya dengan serius.

Impor beras Indonesia terus meningkat sejak tahun 1965. Pada tahun 1967, angkanya melonjak hingga 350 ribu ton. Situasi ini membuat pemerintahan Soeharto yang baru menjabat merasa kewalahan. Stok beras dalam negeri sangat terbatas, sementara peluang impor semakin sulit karena negara lain lebih memilih menyimpan stok mereka masing-masing.

Masyarakat Indonesia sangat bergantung pada beras sebagai makanan pokok. Jika tidak ada tindakan cepat, Indonesia terancam krisis beras. Dalam kondisi darurat inilah, pemerintah memperkenalkan beras "Tekad".

"Tekad" adalah singkatan dari tela (ubi jalar), kacang, dan jagung. Sesuai namanya, "Tekad" bukanlah beras asli, melainkan olahan dari ketiga bahan tersebut. Ketiganya dicampur, ditumbuk, digiling, dan dibentuk menyerupai bulir beras.

Inovasi beras Tekad ini berasal dari Mantrust, Inc., sebuah perusahaan yang mendapat dana dari pemerintah untuk membangun tiga pabrik di Jawa. Pabrik ini mampu memproduksi 300 ton beras Tekad per hari. Mantrust sendiri didirikan pada tahun 1967 dan bergerak sebagai pemasok kebutuhan tentara.

Namun, ide beras Tekad ini tidak diterima oleh semua pihak. Salah satu ekonom, Emil Salim, secara pribadi menolak produksi beras Tekad karena menilai ide tersebut tidak masuk akal. Dia berpendapat bahwa produksi beras serupa di negara lain tidak pernah berhasil dan hanya menguntungkan produsen mesin giling. Meskipun demikian, Soeharto tetap melanjutkan proyek tersebut.

Pabrik beras Tekad kemudian didirikan di Bandung dan Yogyakarta. Salah satu pabrik di Yogyakarta mampu memproduksi 9,6 ton beras Tekad per hari. Pemerintah menegaskan bahwa beras Tekad adalah pengganti beras pada umumnya, setara dengan terigu dan bulgur. Pemerintah juga tetap membuka keran impor beras.

Namun, realitas di lapangan berbeda. Masyarakat kesulitan mengakses beras Tekad karena harganya terlalu mahal tanpa subsidi. Pemerintah pun tidak mampu terus-menerus menanggung biaya subsidi.

Akibatnya, masyarakat enggan menjadikan Tekad sebagai pengganti nasi. Sebagian orang justru memanfaatkannya untuk membuat kue. Perlahan, beras oplosan Tekad menghilang dari pasaran. Beras Tekad, yang diharapkan menjadi solusi krisis pangan, akhirnya gagal.

Scroll to Top