Di tengah sorotan tajam dari Amerika Serikat terkait implementasinya, layanan pembayaran digital berbasis Quick Response Indonesian Standard (QRIS) justru mencatatkan pertumbuhan transaksi yang fantastis. AS menganggap QRIS kurang transparan dan berpotensi menghambat aktivitas perdagangan mereka di Indonesia.
Namun, data berbicara lain. Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan bahwa volume transaksi QRIS pada kuartal II-2025 melonjak signifikan, mencapai pertumbuhan 148,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Pemicunya adalah peningkatan jumlah pengguna dan pedagang (merchant) yang semakin masif menggunakan QRIS.
"Transaksi pembayaran digital melalui QRIS terus melaju dengan pertumbuhan 148,5% yoy, didorong oleh penambahan pengguna dan merchant yang terus bertambah," ujar Perry dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur BI.
Lonjakan transaksi QRIS ini sejalan dengan tren positif transaksi ekonomi digital secara keseluruhan di Indonesia. Sebagai contoh, transaksi pembayaran digital melalui aplikasi mobile banking dan internet banking juga mengalami pertumbuhan yang signifikan. Selama kuartal II-2025, transaksi melalui aplikasi mobile banking mencapai 11,67 miliar transaksi, tumbuh 30,51% yoy. Sementara itu, volume transaksi melalui aplikasi internet banking juga meningkat sebesar 6,95% yoy.
Sebelumnya, pemerintah AS melalui United States Trade Representative (USTR) telah menyoroti QRIS dalam dokumen Foreign Trade Barriers yang dirilis pada Februari 2025. AS menyoroti Peraturan BI No. 21/2019 yang menetapkan QRIS sebagai standar nasional untuk pembayaran menggunakan kode QR di Indonesia.
Pemerintah AS menyampaikan kekhawatiran bahwa perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia layanan pembayaran dan bank, tidak dilibatkan secara memadai dalam proses pembuatan kebijakan QRIS. Mereka mengklaim tidak diberi kesempatan untuk memberikan pandangan mengenai sistem tersebut, termasuk bagaimana QRIS dapat dirancang agar terintegrasi dengan sistem pembayaran yang sudah ada.
Selain QRIS, AS juga menyoroti Peraturan BI No. 19/08/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang mewajibkan seluruh transaksi debit dan kredit ritel domestik diproses melalui lembaga switching GPN yang berlokasi di Indonesia dan memiliki izin dari BI. AS mengkritik pembatasan kepemilikan asing sebesar 20% pada perusahaan yang ingin berpartisipasi dalam GPN.
USTR juga menyoroti kewajiban bagi perusahaan asing untuk menjalin kerjasama dengan switch GPN Indonesia yang berlisensi untuk memproses transaksi ritel domestik. Mereka mengkritik persyaratan bahwa BI harus menyetujui perjanjian tersebut dan persetujuan tersebut bergantung pada dukungan perusahaan mitra asing terhadap pengembangan industri dalam negeri, termasuk melalui transfer teknologi.