Di tengah dinamika geopolitik yang kian kompleks, manuver ekonomi Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto semakin menarik perhatian dunia. Pertemuan Prabowo dengan Presiden Brasil Lula da Silva di KTT BRICS menjadi sinyal kuat arah kebijakan luar negeri Indonesia yang lebih diversifikasi.
Hanya berselang dua hari, kejutan datang dari Amerika Serikat. Presiden Donald Trump mengumumkan kesepakatan dengan Indonesia melalui media sosial, tanpa rincian awal yang jelas. Pengumuman ini seolah menjadi respons atas pernyataan Prabowo di Brussel yang menekankan pentingnya peran Eropa sebagai pemimpin dunia di era multipolar.
Pergeseran Kekuatan Dunia dan Diplomasi Ekonomi Prabowo
Era unipolar yang didominasi Amerika Serikat pasca-runtuhnya Uni Soviet kini telah berganti. Eropa bersatu dalam Uni Eropa, Tiongkok menjelma menjadi kekuatan ekonomi raksasa, dan Rusia kembali bangkit di bawah kepemimpinan Vladimir Putin. Dunia kini bergerak menuju tatanan multipolar, di mana Eropa, Tiongkok, Rusia, dan Amerika Serikat bersaing dan berkolaborasi.
Di tengah perubahan ini, Indonesia mengambil langkah strategis dengan merangkul berbagai kekuatan. Prabowo berupaya membangkitkan kembali semangat Eropa untuk meraih kejayaan masa lalu. Kunjungan ke Brussel dan pertemuan dengan para pemimpin Uni Eropa membuahkan hasil: kesepakatan perdagangan bebas yang memungkinkan Indonesia mengekspor produk ke Eropa dengan tarif 0 persen.
Kesepakatan ini menjadi angin segar bagi ekspor Indonesia, yang selama ini masih didominasi oleh pasar Tiongkok dan Amerika Serikat. Sementara Amerika Serikat justru menaikkan tarif impor, Eropa menawarkan peluang besar bagi produk-produk Indonesia.
Tantangan dan Peluang di Pasar Global
Namun, romantisme dengan Eropa bukan berarti melupakan kemitraan dengan Amerika Serikat dan Tiongkok. Indonesia tetap membutuhkan teknologi dan produk-produk dari kedua negara tersebut. Kesepakatan dengan Amerika Serikat yang diumumkan Trump memberikan tarif khusus bagi Indonesia, bahkan lebih rendah dari Vietnam.
Prabowo juga menegaskan eksistensi Indonesia dalam BRICS, kelompok negara berkembang yang menjadi perhatian Amerika Serikat. Di Brasil, ia mendapat dukungan dari Presiden Lula da Silva untuk terus berkiprah di panggung global.
Ambisi Pertumbuhan 8% dan Tantangan Internal
Di balik manuver ekonomi yang agresif ini, Prabowo memiliki ambisi besar: mencapai pertumbuhan ekonomi 8%. Target ini bukan tanpa tantangan. Korupsi, misalnya, menjadi salah satu penghambat utama yang harus diberantas.
Beberapa pengamat juga meragukan target tersebut, mengingat kondisi ekonomi global yang tidak pasti dan tantangan internal seperti produktivitas yang menurun dan inflasi yang meningkat. Namun, Prabowo tampaknya bertekad untuk mewujudkan visinya, dengan menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai misi besar yang menyatu dengan simbolisme dirinya.