Kebijakan ekonomi proteksionis Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump kembali mengguncang panggung global. Pengenaan tarif impor sebesar 10% terhadap negara-negara anggota BRICS, dan ancaman tarif hingga 200% untuk produk farmasi, mengindikasikan tekanan besar terhadap blok ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di dunia, termasuk India.
Langkah ini bukan hanya berdampak pada arus perdagangan global, tetapi juga meningkatkan risiko perang dagang antara AS dan India. BRICS, sebagai kekuatan ekonomi yang menyumbang lebih dari 32% produk domestik bruto (PDB) dunia dan lebih dari 40% populasi global, menjadi target utama kebijakan tersebut.
Data perdagangan menunjukkan bahwa nilai impor AS dari negara-negara BRICS mencapai USD886 miliar. Dengan tarif 10%, tambahan bea masuk diperkirakan mencapai USD88 miliar, berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi dan upaya negara-negara BRICS untuk mengurangi ketergantungan pada dolar AS.
Target utama nasionalisme ekonomi Trump adalah ekspor farmasi India, yang mencapai USD9,8 miliar atau sekitar 30% dari total ekspor farmasi India ke AS pada tahun 2024–2025. Tarif setinggi 200% dikhawatirkan akan mendongkrak harga obat di pasar Amerika, mengganggu rantai pasokan global, dan memicu kelangkaan di sektor kesehatan AS.
Konsumen, terutama penerima manfaat program kesehatan pemerintah seperti Medicare dan Medicaid, diprediksi akan paling merasakan dampak kenaikan harga ini. Negara bagian seperti Texas, California, dan Florida akan menjadi wilayah terdampak signifikan karena tingginya nilai impor obat dari India.
Selain sektor farmasi, ekspor tembaga India senilai USD2 miliar juga terancam tarif hingga 50%, di mana AS merupakan pasar dengan nilai impor USD360 juta. Sektor manufaktur utama di Gujarat dan Tamil Nadu juga menghadapi ancaman penurunan daya saing akibat kebijakan proteksionis AS.
Proposal perdagangan India dengan nilai USD150 hingga USD200 miliar kini berada dalam ketidakpastian. India telah menyatakan tidak akan memberikan konsesi lebih lanjut, menunjukkan ketegasan dalam menghadapi tekanan negosiasi dari Washington.
Skenario ini dapat mempercepat strategi diversifikasi perdagangan, mendorong negara-negara BRICS untuk memperkuat transaksi lintas batas dalam mata uang lokal, sebagai upaya mengurangi dominasi dolar dalam ekonomi global.
Nasionalisme ekonomi AS yang semakin kuat diperkirakan akan mempengaruhi tatanan perdagangan dunia, menuntut negara berkembang seperti Indonesia untuk mewaspadai dampak lanjutan terhadap stabilitas ekonomi nasional. Kebijakan tarif tinggi seperti yang diberlakukan Trump berpotensi menjadi bumerang, menurunkan daya saing ekonomi AS sendiri dan menumbuhkan aliansi ekonomi baru di luar dominasi dolar.