DEN HAAG – Upaya Israel untuk menggagalkan proses hukum di Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menemui jalan buntu. Hakim ICC menolak permintaan Israel untuk mencabut surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant. Keduanya menghadapi tuduhan serius atas dugaan kejahatan perang di Jalur Gaza, Palestina.
Israel berdalih bahwa karena bukan negara anggota Statuta Roma, perjanjian yang mendirikan ICC, maka pengadilan tersebut tidak memiliki yurisdiksi untuk menyelidiki tindakan mereka di Gaza. Mereka meminta ICC menangguhkan penyelidikan sampai masalah yurisdiksi diselesaikan.
Namun, Majelis Pra-Persidangan ICC dalam keputusannya menyatakan bahwa "tidak ada dasar hukum" untuk mencabut, membatalkan, atau menyatakan surat perintah tersebut tidak berlaku. ICC menegaskan dampak dari klaim yurisdiksi Israel baru dapat ditentukan setelah majelis memutuskan substansi dari klaim tersebut. Dengan kata lain, surat perintah penangkapan tetap berlaku.
Keputusan ICC ini muncul di tengah tekanan kuat terhadap pengadilan tersebut terkait penyelidikan kejahatan perang yang dilakukan Netanyahu dan Gallant.
Sebelumnya, Amerika Serikat bahkan mengancam ICC dengan "semua opsi yang tersedia" jika pengadilan tersebut melanjutkan tindakan yang dianggap melampaui batas. Washington juga telah menjatuhkan sanksi kepada hakim ICC yang terlibat dalam penerbitan surat perintah penangkapan tersebut.
Kasus ini bermula dari tuduhan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya yang diajukan Afrika Selatan terhadap Israel terkait operasi militer di Gaza. Operasi tersebut dilancarkan sebagai respons terhadap serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan ribuan orang dan menyebabkan ratusan lainnya disandera.