Praktik pungutan liar (pungli) masih menjadi masalah serius yang menghambat perkembangan bisnis di Indonesia, khususnya bagi para sopir truk.
Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (Menko IPK) mengungkapkan bahwa setiap sopir truk harus mengeluarkan dana yang cukup besar untuk pungli, bahkan mencapai Rp100 juta hingga Rp150 juta setiap tahunnya. Kondisi ini memaksa pengusaha truk untuk melakukan praktik over dimension over load (ODOL) demi menekan biaya operasional.
Menurut pengamat ekonomi, pungli berkontribusi sekitar 10% terhadap biaya logistik secara keseluruhan. Hal ini berdampak langsung pada harga barang yang menjadi lebih mahal dan membebani konsumen. Praktik pungli sulit diberantas karena melibatkan banyak pihak dan menghasilkan keuntungan yang menggiurkan. Bahkan, ada dugaan bahwa pejabat tertentu melindungi praktik ini demi keuntungan pribadi. Kurangnya tindakan tegas dan komitmen dari pemerintah juga menjadi faktor utama penyebab pungli terus merajalela.
Direktur Eksekutif sebuah lembaga kajian ekonomi memperkirakan kerugian akibat pungli pada truk bisa mencapai Rp500 triliun per tahun. Angka ini didasarkan pada jumlah kendaraan niaga di Indonesia dan estimasi pungli yang harus dibayarkan setiap truk per tahun. Pungli juga menjadi salah satu alasan investor enggan berinvestasi di Indonesia.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu melakukan penegakan hukum secara tegas dan memberikan efek jera kepada para pelaku pungli, termasuk pejabat yang terlibat. Selain itu, disarankan untuk menerapkan sistem e-tilang dan memberikan sanksi yang berat bagi ormas yang anggotanya terlibat dalam praktik pungli. Dengan tindakan yang komprehensif dan tegas, diharapkan biaya logistik dapat ditekan dan iklim investasi di Indonesia menjadi lebih baik.