Kesepakatan penurunan tarif antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) dari 32% menjadi 19% memicu polemik. Meskipun terlihat menguntungkan, kesepakatan ini disertai permintaan kontroversial dari Presiden AS, Donald Trump: penghapusan semua tarif untuk produk AS yang masuk ke Indonesia.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, dengan tegas menentang kebijakan ini. Ia menilai bahwa penghapusan tarif impor bagi produk AS akan membanjiri pasar domestik dengan produk murah, mengancam keberlangsungan industri dalam negeri, termasuk UMKM dan pabrik kecil. Konsekuensi terburuknya adalah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Iqbal mengkritik kesepakatan ini sebagai bentuk "penggadaian kedaulatan ekonomi nasional." Indonesia, menurutnya, akan menerima "double uppercut": tetap dikenakan tarif ekspor oleh AS, sementara produk AS bebas masuk tanpa hambatan. Situasi ini diperkirakan akan membuat produsen lokal kesulitan bersaing, yang pada akhirnya berujung pada PHK. KSPI memperkirakan potensi PHK terhadap 40 ribu pekerja dalam tiga bulan ke depan.
Ancaman tidak hanya datang dari AS. Pasar Indonesia juga terancam serbuan produk-produk murah dari China, yang mencari pasar baru setelah menghadapi tarif tinggi di AS. Kombinasi produk murah dari AS dan China akan semakin menekan industri dalam negeri.
KSPI mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera menegakkan kembali kedaulatan ekonomi nasional dan menghentikan praktik liberalisasi perdagangan yang merugikan pekerja dan industri lokal. Mereka juga menagih janji pembentukan Satuan Tugas (Satgas) PHK, yang telah diinstruksikan sejak lama namun belum terealisasi.
Iqbal menegaskan, "Jangan gadaikan masa depan bangsa hanya demi penurunan tarif." Satgas PHK harus segera dibentuk untuk mengantisipasi dampak buruk dari kebijakan ini.