Kisah Ratna Sari Dewi, seorang ibu di Medan, menjadi cerminan nyata perjuangan keluarga dengan anak berkebutuhan khusus. Anak ketiganya, KD, didiagnosis cerebral palsy hipotonia, kondisi otot yang lemah, setelah menunjukkan gejala tremor sejak usia 7 hari. Walaupun awalnya terlihat sehat, perjalanan KD untuk mendapatkan layanan kesehatan, termasuk imunisasi, tidaklah mudah.
Ratna, yang juga aktif dalam Yayasan Pejuang Cerebral Palsy, menyadari bahwa tidak semua anak berkebutuhan khusus seberuntung KD dalam mendapatkan imunisasi lengkap. Kurangnya informasi, akses layanan kesehatan yang belum inklusif, dan stigma sosial menjadi penghalang utama.
Tantangan Imunisasi Anak Berkebutuhan Khusus
Banyak orang tua anak berkebutuhan khusus yang minim informasi tentang pentingnya imunisasi. Mereka merasa minder, malu, atau tidak menerima kondisi anak, sehingga enggan mencari layanan medis. Stigma sosial dan tatapan sinis dari masyarakat juga membuat mereka menutup diri.
Selain itu, layanan kesehatan seringkali belum ramah terhadap anak berkebutuhan khusus. Beberapa tenaga medis kurang memahami cerebral palsy, bahkan keliru menganggapnya sebagai gizi buruk. Kondisi ini membuat pelayanan kesehatan di tingkat puskesmas dan posyandu menjadi kurang inklusif.
Data Imunisasi yang Memprihatinkan
Data dari Dinas Kesehatan Kota Medan menunjukkan capaian imunisasi anak secara umum belum optimal. Periode Juni 2024 hingga Juni 2025, capaian imunisasi dasar lengkap (IDL) hanya mencapai 39,97% dan 19,03%. Capaian imunisasi baduta lengkap (IBL) juga rendah, yaitu 22,10% dan 14,40%. Data ini mencerminkan perlunya perhatian khusus terhadap cakupan imunisasi di Kota Medan. Sayangnya, Dinas Kesehatan Kota Medan tidak memiliki data terpisah mengenai imunisasi pada anak berkebutuhan khusus.
Tidak Ada Aturan Khusus
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Kota Medan, dr Pocut Fatimah Fitri, menyatakan tidak ada aturan khusus untuk imunisasi anak berkebutuhan khusus. Walaupun layanan imunisasi tersedia di berbagai fasilitas kesehatan, tidak ada standar operasional prosedur (SOP) khusus bagi tenaga kesehatan saat melakukan imunisasi terhadap anak berkebutuhan khusus.
Pentingnya Pelatihan Khusus
Direktur Utama Center for Indonesia’s Strategic Initiatives (CISDI), Diah Saminarsih, menekankan pentingnya pelatihan khusus bagi tenaga medis dan kader kesehatan untuk mencegah stigma dan diskriminasi. Pelatihan ini perlu mencakup pedoman dan prosedur teknis untuk menangani populasi rentan, termasuk anak berkebutuhan khusus.
Hak Dasar Kesehatan Anak Berkebutuhan Khusus
Pakar kesehatan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Destanul Aulia, menegaskan imunisasi adalah hak dasar anak, termasuk anak berkebutuhan khusus. Pemerintah harus memberikan akses layanan yang komprehensif. Puskesmas dapat berperan penting dengan melakukan jemput bola, mengunjungi rumah-rumah untuk memaksimalkan program imunisasi.
Menghapus Stigma Sosial
Menghadapi stigma sosial merupakan tantangan besar. Orang tua anak berkebutuhan khusus yang memiliki beban ganda seringkali memilih tidak mengimunisasi anaknya untuk menghindari stigma sosial. Oleh karena itu, mengubah mindset masyarakat dan menciptakan lingkungan yang positif sangatlah penting. Kader puskesmas dan posyandu harus diaktifkan karena mereka yang memahami kondisi masyarakat di lingkungannya.