Para pengemudi ojek online (ojol) menggelar aksi besar-besaran yang disebut "Aksi Kebangkitan Jilid II Transportasi Online Nasional 217". Ribuan pengemudi dari berbagai wilayah diperkirakan turun ke jalan menyuarakan tuntutan utama: perubahan sistem bagi hasil yang lebih adil.
Para pengunjuk rasa mendesak agar skema pembagian keuntungan diubah menjadi 90% untuk pengemudi ojol dan hanya 10% untuk perusahaan aplikasi. Mereka berpendapat bahwa komisi yang selama ini diterapkan aplikator di Indonesia termasuk yang tertinggi di kawasan Asia.
"Potongan biaya aplikasi yang mencapai 20% atau lebih sangat memberatkan kami," ujar seorang perwakilan pengunjuk rasa. "Padahal, di negara lain dengan jumlah pengemudi online yang lebih sedikit, tarif aplikasi jauh lebih rendah, berkisar antara 6-12%."
Para pengemudi merasa selama ini perusahaan aplikasi telah memotong tarif secara signifikan, bahkan hampir 50%, tanpa adanya regulasi yang tegas dari pemerintah. Mereka yakin bahwa dengan potongan 10% saja, perusahaan masih mampu memperoleh keuntungan yang wajar dan menjalankan operasionalnya.
Aksi ini juga menyuarakan lima tuntutan utama lainnya:
- Pemerintah harus mengeluarkan Undang-Undang Transportasi Online atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU).
- Pembagian hasil 90% untuk pengemudi dan 10% untuk aplikator adalah harga mati.
- Pemerintah harus menetapkan peraturan tarif untuk pengantaran barang dan makanan.
- Audit investigatif terhadap perusahaan aplikasi.
- Penghapusan sistem "Aceng", slot, hub, multi order, member, pengkotak-kotakan, dan pengembalian semua pengemudi menjadi driver reguler.
Aksi 217 ini tidak hanya melibatkan pengemudi online, tetapi juga kelompok pengguna transportasi online seperti pekerja, buruh, mahasiswa, pelajar, dan masyarakat umum lainnya, serta pelaku UMKM. Mereka bersatu untuk mendesak pemerintah agar lebih memperhatikan kesejahteraan pengemudi ojol dan menciptakan ekosistem transportasi online yang lebih adil dan berkelanjutan.