Ketegangan sektarian di Suriah Selatan terus membara. Pejuang dari suku Badui, yang kini berada di luar kota Suweida, menyatakan kesediaan mereka untuk sementara mengikuti gencatan senjata yang diumumkan. Namun, mereka tak menutup kemungkinan untuk kembali mengangkat senjata melawan komunitas Druze.
Setelah sepekan bentrokan berdarah antara pejuang Druze, suku Badui, dan pasukan pemerintah, suku Badui menarik diri dari kota Suweida ke desa-desa di sekitarnya. Israel dilaporkan melakukan serangan udara sebagai bentuk dukungan kepada pihak Druze.
Meski sempat dilaporkan adanya "ketenangan yang hati-hati", situasi di lapangan tetap tegang. Pejuang suku Badui dituduh menyerang desa-desa, merusak suasana damai yang rapuh.
Di kota al-Mazara’a, yang sebelumnya dikuasai Druze namun kini di bawah kendali pemerintah, terlihat kepulan asap dari arah Suweida. Puluhan personel keamanan pemerintah berjaga di pos pemeriksaan, menghalangi suku Badui memasuki kota.
Ratusan pejuang Badui berkumpul, menyuarakan tuntutan pembebasan warga Badui yang terluka dan dianggap sebagai "sandera" di Suweida. Mereka mengancam akan menerobos pos pemeriksaan jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.
Seorang tokoh suku Badui menekankan komitmen mereka pada perjanjian dengan pemerintah. Namun, ia memperingatkan bahwa jika kesepakatan dilanggar dan "sandera" tidak dibebaskan, mereka akan kembali berperang, meski dengan risiko nyawa sekalipun.
Konflik ini dipicu oleh penculikan seorang pedagang Druze di jalan menuju Damaskus. Pemerintah merespons dengan mengerahkan pasukan ke Suweida. Penduduk Druze menuduh pasukan pemerintah dan pejuang asing melakukan "tindakan barbar". Israel mengklaim serangan udaranya bertujuan melindungi komunitas Druze.
Setelah pasukan pemerintah mundur, bentrokan sengit terjadi antara pejuang Druze dan Badui. Kedua belah pihak dituduh melakukan kekejaman, bersama dengan anggota pasukan keamanan yang terafiliasi dengan pemerintah.
Gencatan senjata diumumkan dan pasukan keamanan dikerahkan untuk mengakhiri pertempuran. Pejuang Druze menguasai kembali kota, namun konflik telah merenggut lebih dari seribu nyawa.
Jumlah korban tewas meliputi ratusan pejuang Druze dan warga sipil, serta personel keamanan pemerintah dan anggota suku Badui Sunni. Puluhan ribu orang mengungsi akibat kekerasan ini.
Kota Suweida dilaporkan mengalami kekurangan pasokan medis yang parah. Bantuan kemanusiaan mulai berdatangan, termasuk dari Bulan Sabit Merah Suriah dan Israel.
Para pengungsi Badui berkumpul di pusat-pusat penampungan sementara, seperti di Mia’rbah. Trauma akibat perang saudara masih membekas di sana.
Seorang pengungsi perempuan Badui menyatakan bahwa perdamaian antara Badui dan Druze bergantung pada pemerintah di Damaskus. Tanpa otoritas pemerintah yang kuat, ia meyakini bahwa rasa saling percaya tidak mungkin terwujud. Ia menuduh pihak Druze sebagai "pengkhianat" dan meragukan kemungkinan hidup berdampingan secara damai.