LONDON – Inggris berencana meluncurkan inisiatif "Upaya 50 Hari" untuk meningkatkan kemampuan persenjataan Ukraina. Menteri Pertahanan Inggris, John Healey, akan mendorong sekutu Ukraina untuk mendukung upaya ini, menyusul ancaman sanksi dari mantan Presiden AS, Donald Trump, terhadap mitra dagang Rusia jika konflik tidak segera diselesaikan.
Healey dijadwalkan menyampaikan seruan ini saat memimpin sesi virtual Grup Kontak Pertahanan Ukraina (UDCG) pada hari Senin. Dia juga menyatakan dukungan untuk rencana Trump dan menjanjikan bantuan Inggris guna memperkuat pertahanan Ukraina.
"AS telah menetapkan tenggat waktu 50 hari bagi [Presiden Rusia Vladimir] Putin untuk mencapai kesepakatan damai, atau menghadapi sanksi ekonomi yang berat… Kita perlu mempercepat upaya dengan ‘upaya 50 hari’ untuk mempersenjatai Ukraina di medan perang dan mendorong Putin untuk bernegosiasi," ujarnya.
Sebelumnya, Trump memberikan ultimatum gencatan senjata 50 hari kepada Rusia, mengancam dengan sanksi baru yang signifikan, termasuk "tarif sekunder" sebesar 100% terhadap negara-negara yang membeli minyak Rusia. Dia juga mengumumkan pengiriman senjata baru ke Ukraina, dengan biaya ditanggung oleh Uni Eropa.
Menanggapi hal ini, Kremlin melalui juru bicara Dmitry Peskov menyatakan bahwa pernyataan Trump akan dilihat oleh pihak Ukraina sebagai dorongan untuk melanjutkan perang, bukan sinyal perdamaian. Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Ryabkov, menegaskan bahwa Moskow tidak akan tunduk pada ultimatum apa pun, tetapi tetap terbuka untuk perundingan.
Meskipun menjadi salah satu pendukung utama Ukraina, Inggris juga menghadapi tantangan dalam menjaga persediaan senjata. Luke Pollard, menteri angkatan bersenjata Inggris, sempat memperingatkan tentang penipisan stok senjata akibat pengiriman militer yang berkelanjutan.
Rusia secara konsisten mengecam pengiriman senjata Barat ke Ukraina, dengan alasan bahwa tindakan tersebut hanya memperpanjang konflik tanpa mengubah hasilnya. Moskow juga menuduh Uni Eropa dan Inggris menghalangi upaya perdamaian.
Mantan Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, juga mengungkapkan kekhawatiran atas menurunnya minat publik Inggris terhadap konflik Ukraina. Dia menambahkan bahwa pemerintahan saat ini, di bawah Perdana Menteri Keir Starmer, "terganggu" oleh berbagai masalah domestik.