Konflik bersenjata di Suriah antara suku Bedouin dan Druze terus memburuk, memaksa Amerika Serikat untuk memperingatkan bahwa tidak ada alternatif lain selain gencatan senjata untuk meredakan ketegangan. Situasi semakin rumit dengan keterlibatan Israel yang menyerang beberapa target di Damaskus.
Utusan AS, Tom Barrack, menegaskan dukungan negaranya kepada pemerintahan transisi Suriah di bawah kepemimpinan Presiden Ahmed Al Shaara, penerus Bashar Al Assad. Barrack menekankan pentingnya gencatan senjata segera untuk memulihkan stabilitas.
"Tindakan brutal dari berbagai faksi yang bertikai merusak otoritas pemerintah dan mengacaukan ketertiban," kata Barrack. "Semua pihak harus meletakkan senjata dan menghentikan permusuhan. Perdamaian dan dialog harus diutamakan."
Kecaman juga ditujukan kepada Israel atas intervensinya yang dianggap memperburuk situasi. "Intervensi Israel menciptakan babak baru yang membingungkan dan datang pada saat yang sangat tidak tepat," tegas Barrack.
Konflik sektarian di Provinsi Suwayda Selatan telah menelan lebih dari 300 korban jiwa dan menyebabkan ribuan orang mengungsi. Kantor Hak Asasi Manusia PBB (OHCHR) melaporkan pelanggaran HAM yang meluas, termasuk eksekusi singkat, pembunuhan sewenang-wenang, penculikan, perusakan, dan penjarahan.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengklaim bahwa pemerintah Suriah mengirim pasukan ke Suriah selatan dan menyerang komunitas Druze, yang memicu serangan Israel terhadap Kementerian Pertahanan di Damaskus. Israel menginginkan zona demiliterisasi di wilayah selatan Damaskus, membentang dari Dataran Tinggi Golan hingga Pegunungan Druze.
Presiden Al Sharaa mengecam "intervensi asing" dan menegaskan bahwa pemerintahannya berupaya memulihkan kekuasaan negara di wilayah yang dikuasai milisi Druze.