Vonis 4,5 tahun penjara terhadap mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong, terus menuai reaksi keras dari berbagai kalangan. Tak hanya pegiat antikorupsi, para ahli hukum pun turut menyoroti kejanggalan dalam putusan kasus dugaan korupsi impor gula yang menjeratnya.
Berbagai kritik dan komentar pedas dialamatkan kepada Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Bahkan, Koalisi Masyarakat Sipil menggelar diskusi khusus untuk mengupas tuntas putusan yang mereka nilai sarat dengan kepentingan politik.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, merasa heran dengan pertimbangan hakim yang memberatkan Tom Lembong karena menjalankan kebijakan dengan pendekatan ekonomi kapitalis. Menurutnya, jika ini menjadi alasan pemidanaan, maka akan banyak orang yang bisa dipenjara.
"Sebagian besar tokoh bangsa kita menganut sistem ekonomi kapitalis. Apakah mereka juga harus dipenjara?" ujar Feri. Ia juga mempertanyakan nilai keadilan dalam putusan tersebut, karena hakim tidak bisa membuktikan adanya niat jahat (mens rea) dari Tom Lembong dalam menetapkan kebijakan impor gula.
Aroma Politis dalam Perkara Tom Lembong
Feri Amsari berpendapat bahwa kasus ini bernuansa politis dan merupakan upaya untuk membungkam kelompok oposisi. Ia menyebutnya sebagai "peradilan politik" yang bertujuan untuk mematikan lawan politik.
Ia menyoroti penegakan hukum yang terkesan tebang pilih. Mengapa pihak lain yang pernah melakukan impor dan merugikan negara tidak diproses hukum, padahal dalam kasus Tom Lembong, meskipun ada kerugian negara, tidak ditemukan adanya niat jahat.
Feri pun mendorong Tom Lembong untuk terus berjuang mencari keadilan, karena pihak-pihak di luar lingkaran pemerintah saat ini menjadi target. Ia mencontohkan kasus Tom Lembong dan Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto, sebagai contoh kasus yang terkesan seperti dendam politik.
Pertimbangan Hakim Bisa Dibatalkan
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Albert Aries, menilai bahwa pertimbangan hakim yang menyebut Tom Lembong lalai dan bersalah bisa dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi. Ia menjelaskan bahwa delik korupsi baru bisa digunakan untuk mempersoalkan kelalaian jika ada unsur kesengajaan.
Menurutnya, pertimbangan hukum hakim yang menyiratkan adanya kelalaian dari Tom Lembong merupakan pertimbangan yang keliru dan seharusnya dapat dibatalkan oleh pengadilan tinggi.
Klaim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) mengklaim bahwa hakim yang mengadili Tom Lembong tidak diintervensi atau ditekan. Juru Bicara PN Jakpus, Andi Saputra, menyebut bahwa putusan itu dijatuhkan murni berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta persidangan.
Ia juga mempersilakan pihak-pihak yang tidak puas untuk menempuh banding.