Presiden Prabowo Subianto baru saja meresmikan Koperasi Merah Putih (KMP), sebuah inisiatif yang diklaim akan memperkuat fondasi ekonomi kerakyatan di Indonesia. Namun, di balik gembar-gembor semangat gotong royong, muncul kekhawatiran serius bahwa koperasi ini justru berpotensi menjadi lahan subur bagi praktik korupsi yang merugikan negara dan masyarakat.
Lembaga riset telah mengingatkan bahaya laten korupsi yang bisa terjadi sejak tahap awal pembentukan koperasi. Mulai dari proses pencarian modal, yang mengandalkan dana desa atau pinjaman bank, hingga praktik penggelembungan biaya pendirian koperasi, semua berpotensi disalahgunakan.
Beberapa kasus korupsi yang melibatkan koperasi sudah mencuat ke permukaan. Di Kulon Progo, seorang pegawai koperasi ditangkap karena diduga melakukan korupsi dana nasabah hingga miliaran rupiah. Sementara itu, belasan ribu anggota koperasi di Magetan menjadi korban penyelewengan dana dengan total kerugian mencapai puluhan miliar rupiah.
Pemerintah mengalokasikan anggaran fantastis, mencapai Rp400 triliun, untuk pembentukan Koperasi Merah Putih. Setiap koperasi berpotensi menerima pinjaman modal hingga Rp3 miliar dari bank-bank BUMN yang tergabung dalam Himbara. Saat ini, diklaim lebih dari 80 ribu Koperasi Merah Putih telah berdiri di berbagai desa dan kelurahan di seluruh Indonesia, sebagian besar di antaranya sudah berbadan hukum.
Pengawasan anggaran menjadi kunci utama untuk mencegah penyelewengan di Koperasi Merah Putih. Selain audit berkala, transparansi laporan keuangan koperasi menjadi sangat penting agar dapat diakses oleh publik.
Namun, program koperasi yang kerap dikampanyekan oleh Prabowo ini juga menghadapi tantangan mendasar lainnya, yaitu minat dan kemampuan warga untuk mengelola koperasi yang tidak merata di setiap daerah.
Antusiasme Warga dan Realitas di Lapangan
Di Nusa Tenggara Timur, Lim Sudiandoko, seorang petani, menyambut antusias kehadiran Koperasi Merah Putih. Ia berharap, hasil panen sayur-mayurnya dapat langsung diangkut oleh koperasi, sehingga ia tidak perlu lagi repot-repot membawa hasil pertaniannya ke pasar yang berjarak cukup jauh dan membutuhkan biaya transportasi yang tidak sedikit.
Koperasi Merah Putih di desanya tidak hanya menawarkan fasilitas pinjaman uang, tetapi juga menyediakan layanan lain seperti gerai sembako murah, toko obat, klinik, dan layanan logistik. Untuk menjadi anggota, Lim membayar iuran bulanan sebesar Rp20 ribu atau iuran tahunan sebesar Rp200 ribu.
Gestianus Sino, Kepala Koperasi Desa Merah Putih Penfui Timur, berharap koperasi ini dapat memberdayakan masyarakat, terutama petani, dan menghilangkan peran tengkulak.
Namun, tidak semua warga merasakan manfaat Koperasi Merah Putih. Ice Wally, seorang perempuan di Jayapura, Papua, mengaku belum mengetahui tentang program ini. Ia hanya mendengar kabar bahwa koperasi ini menyediakan fasilitas jual-beli sembako atau pinjaman uang. Hal serupa juga diungkapkan oleh Nurlinda, seorang pedagang kaki lima di Makassar, Sulawesi Selatan.
Potensi Korupsi Mengintai
Koperasi Merah Putih dinilai memiliki potensi masalah yang kompleks dan serius, terutama potensi korupsi. Kasus korupsi di sektor koperasi bukan barang baru. Praktik korupsi yang pernah terjadi antara lain pengajuan kredit fiktif, mark-up pencairan pinjaman, dan tidak menyetorkan uang nasabah ke kas koperasi.
Studi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) bahkan menyebutkan risiko korupsi dan kebocoran anggaran di program Koperasi Merah Putih mencapai Rp48 triliun. Celah korupsi berpotensi ditemukan di semua tahapan koperasi, mulai dari pencairan modal awal hingga penggunaan dana koperasi untuk kepentingan politik.
CELIOS juga menyoroti bahwa Koperasi Merah Putih melanggar UU Perkoperasian karena dibentuk berdasarkan instruksi presiden, bukan secara sukarela oleh anggota. Selain itu, model usaha dan mekanisme koperasi ini juga seragam dari pusat, sehingga rentan berkonflik dengan aturan desa dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan tren korupsi dana desa mengalami peningkatan dari tahun 2021 hingga 2023, dengan jumlah kasus mencapai 187 dan kerugian negara mencapai Rp162 miliar.
Siasat Pemerintah Mencegah Korupsi
Pemerintah mengklaim telah melakukan perhitungan yang tepat untuk mencegah korupsi di Koperasi Merah Putih. Kementerian Koperasi menggandeng Kejaksaan Agung untuk mengawal jalannya program ini. Kejaksaan Agung mengenalkan aplikasi ‘Jaga Desa’ sebagai kanal pengaduan dan pengawasan program-program pembangunan di tingkat desa, termasuk Koperasi Merah Putih.
Menteri Koperasi, Budi Arie Setiadi, mengajak masyarakat untuk ikut mengawasi keuangan koperasi.
Belajar dari Kegagalan Koperasi Unit Desa (KUD)
Program Koperasi Merah Putih menggunakan pendekatan dari pusat ke daerah (top-down policy), yang mengingatkan pada program Koperasi Unit Desa (KUD) di masa pemerintahan Soeharto. Kebijakan KUD pada masa itu tidak berjalan maksimal dan justru dimanfaatkan oleh para predator ekonomi untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah.
Peneliti dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, mengatakan pendekatan top-down tidak sepenuhnya bermasalah asalkan pemerintah memperkuat kesadaran masyarakat tentang keuntungan bergabung ke lembaga ekonomi seperti koperasi.
Ia juga mengingatkan agar pemerintah tidak hanya fokus pada target kuantitatif, tetapi juga pada kualitas dan keberlanjutan koperasi. Selain itu, perputaran ekonomi di Koperasi Merah Putih harus benar-benar diserap oleh masyarakat, bukan hanya oleh elite atau kelompok politik tertentu.
Eliza juga menekankan pentingnya pemilihan pengurus koperasi yang kompeten dan profesional, transparansi laporan keuangan, serta penyaluran pinjaman dari bank secara bertahap.
Pembentukan koperasi merupakan upaya untuk membangun kemandirian ekonomi dan melindungi pengusaha skala kecil. Namun, Eliza mewanti-wanti agar Koperasi Merah Putih tidak menjadi sumber bancakan baru dan memperparah elite capture yang selama ini sudah terjadi.