Tragedi kemanusiaan terus membayangi Jalur Gaza. Keluarga Ibrahim Jahsan, yang mencari perlindungan di Gereja Saint Porphyrius, menjadi saksi bisu kekejaman konflik yang tak pandang bulu. Bagi Jahsan, seorang Kristen di antara seribu umat lainnya di Gaza, gereja seharusnya menjadi tempat aman bagi istri yang tengah hamil dan kedua anaknya.
Namun, keyakinan itu hancur ketika rudal menghantam gereja Ortodoks Yunani tersebut pada Oktober 2023. Bangunan yang menjadi saksi bisu sejarah panjang kota itu luluh lantak. Saat kejadian, ratusan orang mencari perlindungan di sana. Langit-langit gereja runtuh, menjebak puluhan orang di bawah reruntuhan beton. Puluhan nyawa melayang, termasuk anak-anak tak berdosa.
Trauma mendalam membekas pada diri anak-anak Jahsan. Meskipun diliputi kengerian, ia teguh memilih bertahan di gereja bersama keluarganya. "Kami dibaptis di sini, dan kami akan mati di sini," ucapnya pilu.
Kengerian berlanjut ketika Gereja Keluarga Kudus, satu-satunya gereja Katolik di Gaza, dibom. Insiden tragis itu merenggut nyawa dua orang. Gereja tersebut selama ini menjadi pelindung bagi umat Kristen dan Muslim, termasuk anak-anak disabilitas.
Serangan terhadap gereja-gereja di Gaza menuai kecaman keras dari berbagai pemimpin dunia, termasuk Indonesia. Pemerintah Indonesia mengecam serangan terhadap Gereja Keluarga Kudus yang mengakibatkan jatuhnya korban sipil tak berdosa.
Umat Kristen Tertua di Dunia
Umat Kristen di Palestina, yang juga berada di wilayah pendudukan, adalah komunitas Kristen tertua di dunia. Mereka telah mendiami tanah tersebut sejak awal mula agama Kristen, jauh sebelum kehadiran Islam. Mereka adalah "batu hidup" kekristenan, yang sejarahnya dapat ditelusuri hingga 2.000 tahun lalu.
Yesus Kristus lahir di Betlehem, yang kini berada di bawah otoritas Palestina, hanya 10 kilometer dari Yerusalem. Kota ini memiliki makna mendalam dalam Perjanjian Lama sebagai tempat kelahiran Raja Daud.
Saat ini, umat Kristen Palestina memiliki identitas yang kuat sebagai orang Palestina, berbagi budaya dan sejarah yang sama dengan saudara Muslim mereka. Selama beberapa generasi, mereka hidup berdampingan secara damai. Namun, kini mereka menderita bersama di bawah pendudukan yang berdampak pada pembatasan perjalanan, penyitaan tanah, penghancuran rumah, hingga kekerasan. Mereka adalah saksi bisu nestapa di tanah kelahiran mereka.