Koalisi pemerintahan Perdana Menteri Shigeru Ishiba menghadapi pukulan telak dalam pemilu terbaru. Hasil pemilu menunjukkan pergeseran signifikan dalam lanskap politik Jepang, dengan partai-partai populis sayap kanan meraih dukungan besar. Kekalahan ini mengisyaratkan bahwa populisme sayap kanan dan polarisasi politik kini menjadi ancaman nyata bagi stabilitas Jepang.
PM Ishiba bersikeras untuk tetap menjabat, meskipun kekalahan ini merupakan yang kedua baginya dalam sembilan bulan terakhir. Partai Demokrat Liberal (LDP) yang dipimpinnya sebelumnya juga kalah dalam pemilu dini Oktober, membuat mereka menjadi partai minoritas yang memerintah dalam koalisi.
Masa depan Ishiba kini berada di ujung tanduk. Oposisi yang semakin kuat dapat menjatuhkannya melalui mosi tidak percaya, meskipun mereka belum bersatu untuk membentuk pemerintahan alternatif. Selain itu, Ishiba juga menghadapi potensi pemberontakan dari dalam partainya sendiri, LDP, yang telah lama mendominasi politik Jepang.
Koalisi LDP dan Partai Komei gagal mempertahankan mayoritas kursi di majelis tinggi parlemen. Perolehan suara mereka hanya terpaut tipis dari mayoritas, sebuah hasil yang mengejutkan.
Salah satu opsi bagi Ishiba adalah memperluas koalisi pemerintahannya. Namun, partai-partai oposisi utama tampaknya enggan bergabung dalam koalisi besar, meragukan kemampuan Ishiba untuk bertahan sebagai perdana menteri dan pemimpin LDP.
Kekalahan LDP disinyalir akibat ketidakpuasan pemilih terhadap penurunan upah riil akibat inflasi tinggi, serta peningkatan jumlah pekerja asing dan turis.
Dua partai populis sayap kanan yang relatif baru, Partai Sanseito dan Partai Demokrat untuk Rakyat, menjadi pihak yang paling diuntungkan dari situasi ini. Partai Sanseito, dengan slogan xenofobianya "Utamakan Jepang," menuduh pemerintah menjalankan "kebijakan imigrasi terselubung." Mereka mengklaim bahwa perekrutan tenaga kerja asing akan mengganggu harmoni sosial.
Partai Demokrat untuk Rakyat kini menjadi kekuatan ketiga terbesar dalam sistem politik Jepang, yang memberikan bobot lebih besar pada tuntutan utama mereka soal pemotongan pajak.
Analis berpendapat bahwa kedua partai sayap kanan ini berhasil memanfaatkan kemarahan generasi muda terhadap sistem politik yang didominasi generasi tua, inflasi, dan upah yang stagnan.