Pemilu majelis tinggi di Jepang baru-baru ini mengungkap munculnya kekuatan politik baru, yakni partai sayap kanan ekstrem Sanseito yang berhasil meraih dukungan signifikan. Melalui kampanye yang kontroversial, yang mengangkat isu "invasi diam-diam" imigran serta janji pemotongan pajak dan peningkatan kesejahteraan, Sanseito berhasil mengamankan 14 kursi dari total 248 kursi.
Partai ini mulanya dikenal melalui konten di YouTube selama pandemi Covid-19, kerap menyebarkan teori konspirasi tentang vaksinasi dan elite global. Namun, narasi "Japanese First" yang menekankan upaya membangun kembali kehidupan masyarakat Jepang dengan melawan globalisme, menjadi kunci keberhasilan mereka menembus arus utama politik.
Pemimpin partai, Sohei Kamiya, menegaskan bahwa partainya tidak menginginkan pelarangan total terhadap orang asing, namun tetap menekankan pentingnya fokus pada kepentingan Jepang. Keberhasilan Sanseito ini menjadi sorotan karena sentimen populis dan anti-asing yang mereka usung, terutama di tengah melemahnya pengaruh Partai Demokrat Liberal (LDP) yang dipimpin PM Shigeru Ishiba dan mitra koalisinya, Komeito.
Meskipun LDP dan Komeito tetap memenangkan pemilu, mereka kehilangan mayoritas di majelis tinggi, sehingga semakin bergantung pada dukungan oposisi. Menurut ahli, kemunculan Sanseito lebih mencerminkan kelemahan LDP dibandingkan kekuatan partai itu sendiri.
Menjelang pemilu, survei menunjukkan bahwa isu jaminan sosial, penurunan angka kelahiran, dan kenaikan harga menjadi perhatian utama pemilih. Masalah imigrasi juga masuk dalam lima besar perhatian warga. Sanseito merasa bahwa publik mulai menyadari kebenaran dari isu-isu yang mereka angkat, meskipun sebelumnya dikritik karena xenofobia dan diskriminasi.
Sanseito berhasil menarik perhatian pemilih yang frustrasi dengan kondisi ekonomi dan melemahnya mata uang Yen. Ini mendorong kedatangan wisatawan dalam jumlah besar, namun juga memicu kenaikan harga yang memberatkan masyarakat Jepang.
Kamiya, yang memiliki latar belakang sebagai mantan manajer supermarket dan guru bahasa Inggris, mengaku terinspirasi oleh gaya politik Presiden AS Donald Trump yang berani dan anti-imigran. Ia juga membandingkan partainya dengan partai sayap kanan Jerman, AfD, serta Partai Reform di Inggris. Sanseito berencana membangun aliansi dengan partai-partai kecil lainnya sebagai strategi untuk memperkuat posisinya di dunia politik Jepang.
Sebelum pemilu, pemerintah Jepang mengumumkan pembentukan satuan tugas baru untuk memerangi "kejahatan dan perilaku tidak tertib" oleh warga negara asing. Bahkan, ada janji untuk menargetkan "nol orang asing ilegal". Selain itu, sempat viral pemberitaan tentang kegiatan organisasi asal Indonesia yang dianggap tidak selaras dengan norma di Jepang.
Berdasarkan data, jumlah WNI di Jepang mencapai hampir 200 ribu orang, menunjukkan peningkatan signifikan dalam beberapa waktu terakhir.