Indonesia dan Amerika Serikat (AS) baru saja menyepakati kerangka negosiasi perjanjian dagang timbal balik. Langkah ini diyakini akan memangkas tarif impor secara signifikan, membuka peluang baru dalam perdagangan kedua negara.
Salah satu poin krusial dalam kesepakatan ini adalah komitmen Indonesia untuk meningkatkan pembelian produk energi dari AS, termasuk Liquefied Petroleum Gas (LPG), minyak mentah, dan bensin, dengan nilai fantastis mencapai US$15 miliar. Dewan Ekonomi Nasional (DEN) mengindikasikan bahwa peningkatan impor ini akan menggantikan pasokan dari negara-negara lain.
LPG: Amerika Serikat Mendominasi
Data DEN menunjukkan bahwa Amerika Serikat sudah menjadi pemasok utama LPG bagi Indonesia pada tahun 2024. Impor LPG dari Negeri Paman Sam mencapai US$ 2,03 miliar, setara dengan 53% dari total impor LPG nasional yang mencapai US$ 3,8 miliar. Negara-negara lain yang menjadi sumber impor LPG antara lain Qatar (11%), Uni Emirat Arab (10%), Arab Saudi (10%), Kuwait (6%), dan Algeria (5%).
Minyak Mentah: Diversifikasi Sumber
Berbeda dengan LPG, impor minyak mentah Indonesia lebih terdiversifikasi. Nigeria menjadi pemasok utama dengan pangsa 28% (US$ 2,90 miliar) dari total impor minyak mentah nasional sebesar US$ 10,4 miliar. Arab Saudi menyusul dengan 20% (US$ 2,05 miliar), diikuti Angola (17%), Gabon (10%), dan Australia (7%). Porsi impor minyak mentah dari AS pada tahun 2024 tercatat hanya 4% atau US$ 0,43 miliar.
BBM: Singapura Raja Impor Bensin
Amerika Serikat bukan termasuk negara asal impor Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis bensin bagi Indonesia. Singapura mendominasi sebagai pemasok utama, dengan pangsa 53% (US$ 11,40 miliar) dari total impor BBM nasional sebesar US$ 21,6 miliar. Negara-negara lain yang menjadi sumber impor BBM adalah Malaysia, China, India, Arab Saudi, dan Korea Selatan.
Dengan adanya kesepakatan dagang ini, menarik untuk melihat bagaimana peta impor energi Indonesia akan berubah di masa depan, terutama dengan potensi peningkatan signifikan dari Amerika Serikat.