Kanker Ovarium: Ancaman Tersembunyi Bagi Wanita Indonesia

Kanker ovarium menjadi momok menakutkan di dunia medis, tercatat sebagai penyebab utama kematian akibat kanker ginekologi. Di Indonesia, kasusnya tergolong tinggi, menempatkan negara ini dalam daftar 10 besar negara dengan insiden kanker ovarium terbanyak di dunia. Setiap tahunnya, lebih dari 15 ribu kasus baru muncul, menggarisbawahi urgensi peningkatan kesadaran dan deteksi dini.

Ironisnya, mayoritas pasien baru terdiagnosis ketika kanker telah mencapai stadium lanjut, stadium tiga atau empat. Hal ini disebabkan oleh gejala awal yang seringkali tidak spesifik dan diabaikan. Akibatnya, penanganan medis menjadi lebih kompleks, biasanya melibatkan operasi besar dan kemoterapi.

Setelah menjalani kemoterapi awal, risiko kekambuhan menjadi tantangan besar. Angka kekambuhan mencapai 70 persen dalam tiga tahun pertama, meskipun pasien telah memasuki fase remisi. Pada stadium lanjut, operasi pengangkatan ovarium, tuba falopi, rahim, serta jaringan kanker yang terlihat menjadi prosedur standar. Kemoterapi lanjutan diperlukan untuk membasmi sel kanker yang mungkin masih tersisa.

Upaya menjaga pasien terhindar dari kekambuhan setelah kemoterapi awal sangat krusial untuk mempertahankan kualitas hidup. Namun, kenyataannya kekambuhan tetap menjadi ancaman nyata, mendorong pasien untuk menjalani kemoterapi berulang. Sayangnya, periode remisi (masa bebas kanker) cenderung lebih singkat, dan risiko kematian meningkat. Dalam beberapa kasus, terapi target dapat menjadi pilihan setelah kemoterapi, tergantung pada hasil pemeriksaan dokter.

Pendekatan perawatan yang terpersonalisasi, pasca operasi dan kemoterapi, menjadi kunci. Antisipasi terhadap kekambuhan memberikan harapan dan peluang hidup yang lebih baik bagi para pasien.

Scroll to Top