Krisis kemanusiaan di Jalur Gaza semakin memprihatinkan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan terjadinya kelaparan massal akibat blokade bantuan kemanusiaan oleh militer Israel. Puluhan anak-anak dilaporkan meninggal dunia akibat kekurangan gizi akut.
"Gaza mengalami kelaparan massal yang diakibatkan oleh tindakan manusia, yaitu blokade bantuan," tegas Kepala WHO, Tedros Adhanom Ghebreysus. Ia menambahkan bahwa situasi ini sangat jelas merupakan hasil dari blokade tersebut.
Data dari otoritas Gaza menunjukkan, setidaknya 10 orang meninggal dunia dalam 24 jam terakhir akibat malnutrisi dan kelaparan. Jumlah korban tewas akibat krisis ini kini mencapai 111 orang, dengan mayoritas (80 orang) adalah anak-anak.
Menurut penilaian WHO, seperempat penduduk Gaza kini berada dalam kondisi rawan kelaparan. Hampir 100.000 perempuan dan anak-anak menderita malnutrisi akut yang parah. Tingkat malnutrisi akut telah melebihi 10 persen, dan lebih dari 20 persen perempuan hamil dan menyusui yang diperiksa mengalami malnutrisi, sering kali dalam kondisi yang parah.
Krisis kelaparan ini diperparah oleh terputusnya jalur bantuan dan pembatasan akses. Mayoritas rumah tangga di Gaza menghadapi kekurangan air yang sangat parah.
Situasi ini memicu keprihatinan dari 109 lembaga bantuan dan hak asasi manusia global, termasuk Dokter Lintas Batas, Oxfam International, dan Amnesty International. Mereka memperingatkan bahwa warga sipil dan pekerja bantuan semakin menderita akibat kekurangan pangan.
Pengepungan yang dilakukan pemerintah Israel menyebabkan kelaparan di Gaza. Pekerja bantuan kini terpaksa ikut mengantre makanan, bahkan berisiko ditembak hanya untuk memberi makan keluarga mereka. Organisasi kemanusiaan menyaksikan rekan dan mitra mereka sendiri mengalami kekurangan gizi di depan mata mereka.
Penyaluran bantuan vital ke Gaza, untuk lebih dari dua juta orang yang membutuhkan, menjadi isu kunci dalam konflik ini. Blokade total pengiriman bantuan ke wilayah tersebut, yang diberlakukan oleh Israel pada awal Maret, sempat dilonggarkan pada bulan Mei. Sistem yang telah lama diprakarsai Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dikesampingkan demi Gaza Humanitarian Foundation (GHF) yang didukung AS dan Israel. Namun, dua bulan kemudian, penduduk Gaza masih menderita kelangkaan pangan yang ekstrem.
Organisasi kemanusiaan melaporkan bahwa gudang-gudang berisi berton-ton pasokan terbengkalai di dalam dan di luar Gaza, sementara orang-orang terjebak dalam siklus harapan dan patah hati, menunggu bantuan dan gencatan senjata. Kondisi ini bukan hanya siksaan fisik, tetapi juga psikologis. Seorang pekerja bantuan mengungkapkan dampak yang menghancurkan pada anak-anak, yang bahkan berharap untuk meninggal dunia agar bisa mendapatkan makanan di surga.
PBB melaporkan bahwa lebih dari 1.050 warga Palestina telah tewas saat mencoba mendapatkan makanan sejak 27 Mei. Warga sipil yang mendekati truk bantuan justru ditembaki, meskipun telah ada jaminan bahwa pasukan tidak akan terlibat. PBB menegaskan bahwa pola ini bertolak belakang dengan bagaimana seharusnya memfasilitasi operasi kemanusiaan. Tidak seharusnya ada seorang pun yang mempertaruhkan nyawa mereka untuk mendapatkan makanan.
Pemerintah Israel membantah tuduhan kelaparan di Gaza dan menuding Hamas sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kekurangan buatan manusia. Mereka mengklaim bahwa Hamas mencegah distribusi pasokan dan menjarah bantuan untuk kepentingan pribadi atau menjualnya dengan harga yang melambung. Israel juga menyalahkan PBB dan mitranya karena gagal mengangkut truk-truk berisi bahan makanan dan kebutuhan pokok lainnya yang telah dibersihkan dan menunggu di sisi perbatasan Gaza.