DPR RI menyoroti potensi transfer data pribadi dalam kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS). Wakil Ketua Komisi I DPR, Sukamta, menekankan pentingnya perlindungan hukum yang memadai dalam skema transfer data lintas batas tersebut.
Sukamta mengingatkan agar tim negosiator Indonesia tidak menyetujui transfer data tanpa jaminan hukum yang kuat, terutama karena AS belum memiliki undang-undang perlindungan data federal seperti GDPR di Eropa. Menurutnya, transfer data pribadi bukan hanya masalah perdagangan, tetapi juga menyangkut kedaulatan digital dan keamanan nasional.
"Transfer data pribadi bukan sekadar isu perdagangan, melainkan juga menyangkut kedaulatan digital, keamanan nasional, dan keadilan ekonomi," tegas Sukamta.
Sukamta menekankan agar pemerintah berpedoman pada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dalam menjalankan transfer data. Pasal 56 UU PDP mengatur bahwa transfer data ke AS harus disertai syarat yang setara, perlindungan hukum timbal balik, hak audit bagi otoritas Indonesia, dan kontrol penuh atas data strategis warga negara. Jika syarat ini tidak terpenuhi, izin dari subjek data diperlukan.
Ia juga mendorong agar kedaulatan data ditegaskan dalam perjanjian, memastikan data warga tetap berada dalam yurisdiksi hukum nasional, bahkan jika diproses di luar negeri. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 UU PDP. Sukamta juga menyoroti perlunya percepatan penyelesaian aturan turunan UU PDP, seperti Peraturan Pemerintah (PP) PDP dan Peraturan Presiden (Perpres) tentang pembentukan Lembaga OPDP.
Sebelumnya, perwakilan pemerintah telah menjelaskan bahwa transfer data pribadi ke AS hanya untuk kepentingan komersial, bukan pengelolaan data. Tujuannya adalah memastikan pertukaran barang berjalan aman dan tidak menghasilkan produk yang membahayakan.