Fenomena ‘Rojali’ dan ‘Rohana’ di Mal: Pertanda Apa?

Di tengah gemerlap pusat perbelanjaan, muncul fenomena unik yang menjadi perbincangan: ‘rojali’ (rombongan jarang beli) dan ‘rohana’ (rombongan hanya nanya). Kehadiran mereka di mal bukan lagi pemandangan asing, memicu spekulasi tentang kondisi ekonomi masyarakat.

Menteri Perdagangan berpendapat bahwa fenomena ini bukan hal baru. Masyarakat punya kebebasan memilih, antara belanja di mal atau secara daring. Baginya, wajar jika konsumen datang ke mal sekadar melihat-lihat tanpa harus membeli.

Namun, Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) melihat lebih dalam. Ketua Umum APPBI mengungkapkan, ada perbedaan alasan mengapa kelompok menengah ke bawah dan menengah ke atas masuk dalam kategori ‘rojali’.

Kalangan berada cenderung menahan diri karena ketidakpastian ekonomi global. Sementara, bagi kelas menengah, fenomena ‘rojali’ dan ‘rohana’ mengindikasikan penurunan daya beli. Walaupun kunjungan ke pusat perbelanjaan tetap naik, pola belanja masyarakat berubah menjadi lebih selektif. Mereka lebih fokus membeli barang yang benar-benar dibutuhkan dan mencari produk dengan harga terjangkau.

Fenomena ini sudah terasa sejak Ramadan tahun lalu, dengan penurunan daya beli yang semakin terasa setelah Idul Fitri. Pengetatan anggaran pemerintah turut memperpanjang masa lesu ini.

Sementara itu, Himpunan Paritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) mencatat bahwa ‘rojali’ biasanya hanya membeli sedikit makanan atau minuman di mal. Namun, sektor makanan dan minuman (F&B) justru diuntungkan, dengan kenaikan omzet sekitar 5-10% per bulan. Malah, pertemuan atau aktivitas nongkrong konsumen kerap dilakukan di sana.

Untuk mengimbangi perubahan ini, banyak ritel membuka toko daring, mengikuti perkembangan zaman. Inovasi ini diharapkan dapat menjangkau konsumen yang lebih luas dan menjaga keberlangsungan bisnis di tengah tantangan ekonomi.

Scroll to Top