Presiden AS, Donald Trump, tampaknya mengubah nadanya terkait konflik Israel-Hamas. Setelah sebelumnya optimis akan tercapainya kesepakatan gencatan senjata, kini Trump mengisyaratkan dukungan bagi Israel untuk meningkatkan operasi militernya di Gaza.
Pernyataan ini muncul setelah Amerika Serikat menarik negosiatornya dari perundingan gencatan senjata, dengan alasan Hamas tidak kooperatif dan tidak menunjukkan itikad baik. Trump bahkan menyatakan bahwa Hamas "ingin mati" dan Israel harus "menyelesaikan pekerjaan ini," mengindikasikan ia tidak akan menekan Israel untuk menghentikan kampanyenya, meskipun krisis kemanusiaan di Gaza semakin memburuk.
Perubahan sikap Trump ini menimbulkan pertanyaan. Apakah ini cerminan kegagalan negosiasi yang sesungguhnya, atau strategi untuk menekan Hamas agar lebih fleksibel?
Meskipun Trump menyebut percakapannya dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, "agak mengecewakan," ia tetap menekankan bahwa Israel harus "menyingkirkan mereka," mengacu pada Hamas. Kegagalan mencapai kesepakatan gencatan senjata di Gaza, bersama dengan usahanya mengakhiri perang di Ukraina, menjadi sumber frustrasi bagi Trump.
Namun, pesimisme Trump tidak sepenuhnya sejalan dengan sinyal dari kawasan tersebut. Mesir dan Qatar tetap berkomitmen untuk memediasi gencatan senjata yang langgeng, dan seorang pejabat senior Israel menyatakan bahwa perundingan belum sepenuhnya gagal. Bahkan, beberapa pejabat AS berharap komentar Trump akan mendorong Hamas ke posisi negosiasi yang lebih konstruktif.
Penarikan AS dari perundingan menimbulkan kejutan di Doha, Qatar, tempat negosiasi berlangsung. Poin-poin krusial dalam perundingan, seperti bagaimana dan kapan perang akan berakhir permanen, jumlah tahanan Palestina yang akan dibebaskan, dan penempatan kembali militer Israel di Gaza, masih menjadi hambatan.
Trump menyalahkan Hamas atas kegagalan perundingan, dengan alasan bahwa kelompok itu kehilangan pengaruh setelah sejumlah sandera dibebaskan atau meninggal dalam tahanan. Ia juga menyoroti bahwa AS telah menyumbang $60 juta untuk bantuan kemanusiaan, namun tidak menerima pengakuan yang cukup atas upayanya. Pemerintah AS sendiri tidak menemukan bukti pencurian bantuan kemanusiaan oleh Hamas secara meluas.
Sementara itu, sekutu utama AS menunjukkan sikap yang lebih tegas terhadap kampanye militer Israel. Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, menyebut "eskalasi militer Israel yang tidak proporsional di Gaza" tidak dapat dibenarkan. Presiden Prancis, Emmanuel Macron, mengumumkan bahwa Prancis akan mengambil langkah untuk mengakui negara Palestina pada Sidang Umum PBB September mendatang, yang dikecam oleh Israel. Trump menganggap langkah Prancis tersebut "tidak berbobot."
Krisis kelaparan di Gaza semakin memburuk menjadi bencana kemanusiaan. Presiden Tunisia, Kais Saied, memberikan foto-foto anak-anak yang kekurangan gizi kepada penasihat senior Trump, Massad Boulos, menggambarkan situasi yang tidak dapat diterima dan sebagai "kejahatan terhadap seluruh umat manusia."