Indonesia dan Amerika Serikat baru saja menyepakati perjanjian perdagangan resiprokal yang digadang-gadang sebagai era baru ekonomi digital Indonesia. Namun, di balik gemerlapnya janji kemajuan, tersimpan kekhawatiran mendalam akan kedaulatan data bangsa.
Perjanjian yang mengakui AS sebagai negara dengan perlindungan data pribadi yang memadai, membuka pintu lebar bagi aliran data warga negara ke luar negeri. Ironisnya, pengakuan ini dinilai prematur dan berpotensi melanggar Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang justru mengatur ketat transfer data ke negara dengan standar perlindungan setara atau lebih tinggi.
Data: Emas Baru yang Terancam
Di era digital ini, data bukan sekadar informasi, melainkan aset strategis, bahkan "emas baru" yang nilainya terus melambung. Kehilangan kendali atas data berarti kehilangan kendali atas masa depan. Pemerintah, terkesan mengabaikan prinsip ini, lebih memilih mengejar kepentingan diplomatik dengan mengorbankan kedaulatan digital.
Amerika Serikat: Magnet Investasi dengan Catatan Buruk
Amerika Serikat memang menjadi pusat investasi digital global, namun juga dikenal dengan rekam jejak pelanggaran data yang mengkhawatirkan. Jutaan data pribadi bocor setiap tahun, dan undang-undang seperti FISA Section 702 memberikan kewenangan luas kepada badan intelijen untuk mengakses data warga asing tanpa izin pengadilan.
Indonesia: Belum Berbenah, Sudah Menyerahkan?
Alih-alih memperkuat perlindungan data di dalam negeri, Indonesia justru memilih menyerahkan data ke pihak luar. Padahal, Indonesia masih bergulat dengan masalah kebocoran data, mulai dari data Dukcapil hingga data imigrasi. Laporan Surfshark bahkan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan insiden kebocoran data terbesar keempat di dunia pada kuartal pertama 2024.
Kolonialisme Data: Bentuk Penjajahan Baru
Perjanjian ini dikhawatirkan menjadi bentuk kolonialisme data, di mana Indonesia hanya diposisikan sebagai produsen bahan mentah digital. Data warga negara diproses, dianalisis, dan dimonetisasi di negara lain, sementara Indonesia hanya mendapat produk jadinya, bahkan seringkali harus membayar untuk mengakses hasil olahan dari data sendiri.
Ke Mana Arah Kedaulatan Digital Indonesia?
Pemerintah harus segera berbenah dan mengutamakan kepentingan nasional dalam setiap kebijakan digital. Moratorium terhadap transfer data lintas negara, audit independen terhadap perjanjian yang ada, dan transparansi informasi kepada publik adalah langkah-langkah mendesak yang perlu diambil.
Kedaulatan digital bukan sekadar slogan, melainkan fondasi kemandirian bangsa di era digital. Tanpa fondasi yang kokoh, Indonesia akan terus menjadi penonton dalam pertunjukan teknologi global yang dibangun di atas data kita sendiri.