Pengusaha ritel merasakan dampak negatif dari peredaran beras oplosan yang mencemari gerai mereka. Kerugian signifikan timbul akibat penarikan produk yang terpaksa dilakukan demi meredam gejolak di masyarakat.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengungkapkan dilema yang dihadapi anggotanya. Arahan pemerintah untuk tetap menjual merek beras yang terindikasi dioplos sulit dijalankan karena gelombang protes dari konsumen dan pemeriksaan mendadak oleh aparat penegak hukum daerah.
Penarikan stok beras ini semakin memperparah kerugian ritel, terutama di tengah kondisi persediaan yang sudah menipis. Pasokan beras dari pemasok tidak pernah mencapai jumlah yang dipesan, bahkan jauh sebelum isu beras oplosan mencuat.
Keuntungan dari penjualan beras juga tergerus akibat kenaikan harga dari produsen, sementara Harga Eceran Tertinggi (HET) beras premium tetap stagnan. Margin keuntungan yang semula 4% kini hanya tersisa 2%, angka yang sangat kecil mengingat biaya operasional ritel.
Ritel Meminta Ketegasan Pemerintah
Aprindo mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas terhadap pelaku beras oplosan. Kejelasan arahan sangat dibutuhkan agar tidak menimbulkan kepanikan dan kebingungan di masyarakat terkait beras yang beredar di pasaran.
Pengusaha ritel menegaskan bahwa mereka hanya berperan sebagai penjual, bukan produsen beras. Ritel tidak memiliki kapasitas untuk memeriksa mutu dan kualitas beras yang dipasok oleh distributor. Masyarakat, di sisi lain, kerap menyalahkan ritel karena dianggap mengedarkan beras bermasalah.