Gelombang Pembangkangan di Tubuh IDF: Perang Gaza Jadi Polemik Internal Israel?

Perang berkepanjangan di Gaza yang dipaksakan oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu kini memicu perpecahan di internal militer Israel (IDF). Semakin banyak tentara dan bahkan jenderal IDF yang mulai menolak untuk terus berperang di Jalur Gaza.

Fenomena penolakan yang berlatar belakang politik ini, meskipun jarang terjadi sebelumnya, kini semakin nyata. Hal ini ditandai dengan munculnya surat terbuka yang ditandatangani oleh tentara cadangan yang mengecam strategi perang Netanyahu. Konsekuensinya beragam, mulai dari teguran hingga pemecatan.

Kondisi ini diperparah dengan laporan mengenai upaya panik para perwira yang menghubungi tentara cadangan melalui media sosial untuk meminta mereka bergabung, mengindikasikan menipisnya jumlah personel yang tersedia.

Jenderal Assaf Orion, mantan kepala perencanaan strategis IDF, mempertanyakan urgensi melanjutkan operasi militer di Gaza. Menurutnya, kampanye Israel melawan Iran dan Hizbullah di Lebanon memiliki tujuan strategis yang jelas, namun hal serupa tidak berlaku untuk Gaza. Ia menduga ada motif tersembunyi di balik perang yang berkepanjangan ini, yang didorong oleh kepentingan politik.

Senada dengan Orion, Eran Etzion, mantan wakil kepala dewan keamanan nasional Israel, lebih terbuka menyatakan bahwa kelanjutan kampanye di Gaza semata-mata didorong oleh kepentingan politik, pribadi, dan hukum Netanyahu. Menurutnya, Netanyahu membutuhkan perang untuk mempertahankan posisinya yang terancam.

Keyakinan umum yang berkembang adalah, jatuhnya pemerintahan Netanyahu akan tak terhindarkan jika perang berakhir, karena partai-partai ultranasionalis dalam koalisinya akan menarik dukungan. Isu ini yang disebut-sebut sebagai alasan utama di balik berlanjutnya perang, tanpa kaitan dengan Hamas.

Bocoran informasi mengenai dinamika di kabinet keamanan Israel mengungkap skeptisisme serupa. Letjen Eyal Zamir, kepala staf IDF, dikabarkan berpendapat bahwa keuntungan yang diperoleh dari melanjutkan serangan sangat minim, sementara nyawa sekitar 20 sandera yang masih hidup justru akan semakin terancam.

Di sisi lain, meskipun terdegradasi menjadi kelompok-kelompok gerilya yang terfragmentasi, Hamas terus memberikan perlawanan sengit di tengah reruntuhan Gaza, mengirimkan korban dari pihak IDF kembali ke Israel.

Scroll to Top