Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mempelajari secara mendalam pertimbangan majelis hakim yang membebaskan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto dari dakwaan menghalangi penyidikan kasus suap terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR Harun Masiku.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan bahwa pihaknya akan meninjau kembali potensi adanya tindakan yang menghambat proses hukum setelah penyidikan berjalan. "Kami akan telaah kembali dugaan-dugaan yang muncul pasca penyidikan, termasuk tindakan yang mungkin menghalangi setelah penerbitan surat perintah penyidikan (sprindik)," ujarnya.
Pertimbangan hakim yang menggugurkan dakwaan obstruction of justice terhadap Hasto akan menjadi fokus utama dalam analisis KPK untuk menentukan langkah banding. "Ini menjadi materi penting yang akan kami kaji. Apakah tindakan-tindakan yang dipermasalahkan terjadi sebelum penyidikan berlangsung, seperti yang dinyatakan majelis hakim," imbuh Budi.
KPK juga akan mencermati permintaan hakim agar jaksa mengembalikan buku dan notebook milik Hasto yang sempat disita. "Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan mempelajari secara seksama pertimbangan dan putusan ini," jelas Budi.
Alasan Hakim Bebaskan Hasto
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta berpendapat bahwa perbuatan Hasto tidak memenuhi unsur obstruction of justice karena terjadi sebelum Harun Masiku ditetapkan sebagai tersangka atau masih dalam tahap penyelidikan.
Hakim menilai bahwa tindakan Harun Masiku yang merendam handphone tidak bisa dikategorikan sebagai menghilangkan barang bukti, karena HP tersebut masih bisa disita oleh KPK. "Berdasarkan fakta persidangan, HP yang dimaksud ada dan dapat disita, sehingga unsur kesengajaan menghilangkan barang bukti tidak terbukti," kata hakim.
Selain itu, hakim juga menyoroti perbedaan waktu antara perintah menenggelamkan HP (8 Januari 2020) dengan penetapan Harun Masiku sebagai tersangka (9 Januari 2020). Menurut hakim, Pasal 21 UU Tipikor hanya mengatur perbuatan menghalangi penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, tanpa mencakup tahap penyelidikan.
Hakim juga berpendapat bahwa Hasto tidak melakukan perintangan saat menolak memberikan bukti saat diperiksa sebagai saksi di KPK pada 6 Juni 2024. Tindakan Hasto tersebut dianggap sebagai hak konstitusional warga negara. "Upaya seseorang untuk tidak memberikan bukti atau keterangan yang dapat memberatkan dirinya sendiri merupakan manifestasi dari asas nemo tenetur se ipsum accusare, yang merupakan hak fundamental dalam hukum pidana universal dan dijamin oleh konstitusi," jelas hakim.