Pada Selasa, 29 Juli 2025, dunia politik Taiwan dikejutkan dengan berita gerakan recall atau upaya pencopotan massal anggota DPR. Sebuah referendum diadakan di 24 daerah pemilihan untuk menentukan apakah anggota DPR yang bersangkutan harus diganti oleh rakyat.
Namun, hasil referendum menunjukkan kegagalan. Suara "tidak" untuk pencopotan justru lebih banyak daripada suara "ya". Bahkan di beberapa daerah pemilihan, jumlah pemilih yang datang ke TPS sangat minim, tidak mencapai kuorum 25%, sehingga secara otomatis gerakan pencopotan dinyatakan gagal.
Di Taiwan, rakyat memiliki hak untuk mengganti anggota DPR di tengah masa jabatan. Kasus yang pernah berhasil adalah pencopotan Freddy Lim, seorang anggota DPR yang dinilai kurang aktif dalam penanganan pandemi Covid-19. Saat itu, antusiasme rakyat sangat tinggi, dan suara "ya" untuk mengganti Freddy Lim berhasil memenangkan referendum.
Freddy Lim, yang juga dikenal sebagai 林昶佐 dalam bahasa Mandarin, adalah seorang vokalis band heavy-metal Chthonic dan Metal Clone X, serta ketua Amnesti Internasional Taiwan. Salah satu penyebab kekalahannya adalah karena ia tidak melawan gerakan recall tersebut dan menyerahkan sepenuhnya pada pilihan rakyat.
Berbeda dengan kasus Freddy Lim, gerakan recall massal kali ini diwarnai dengan perlawanan sengit dari para anggota DPR yang akan di-recall, partai pengusung mereka (Kuomintang), dan para pendukungnya.
Gerakan recall massal ini berlatar belakang politik, bukan kinerja. Para anggota DPR yang akan di-recall dianggap sebagai musuh pemerintah dan menghambat program partai penguasa (DPP). Mereka dituduh melahirkan UU pemotongan anggaran pemerintah pusat yang dialihkan ke pemerintah daerah. Pemerintah pusat menilai tindakan ini akan melemahkan Taiwan, terutama dalam upaya melawan Tiongkok.
Para anggota DPR yang di-recall dianggap terlalu dekat dengan Tiongkok. Tahun sebelumnya, mereka melakukan kunjungan kerja ke Beijing, yang memicu kemarahan publik.
Saat ini, Kuomintang menguasai 52 kursi di parlemen, sedangkan partai pemerintah hanya memiliki 51 kursi. Delapan kursi lainnya diduduki oleh anggota independen yang cenderung mendukung Kuomintang. Jika recall terhadap tujuh anggota DPR lainnya juga gagal, maka parlemen akan tetap dikuasai oleh Kuomintang.
Meskipun rakyat Taiwan memilih Lai Ching-te dari DPP sebagai presiden, mereka juga memilih Kuomintang untuk menguasai parlemen. Hal ini menunjukkan bahwa rakyat Taiwan tidak ingin presiden memiliki kekuasaan yang terlalu besar.
Sejak tahun 1994, Taiwan memiliki UU Pemilihan Umum dan Pencopotan Anggota DPR sebagai wujud semangat demokrasi. UU ini memberikan peluang kepada rakyat untuk mencopot anggota DPR jika mereka merasa tidak puas.
Syarat recall awalnya sangat sulit, namun dipermudah pada tahun 2017. Kini, hanya dibutuhkan tanda tangan satu persen dari jumlah pemilih terdaftar di suatu daerah pemilihan sebagai langkah pertama. Setelah itu, diberikan waktu enam bulan untuk mengumpulkan dukungan hingga mencapai 10 persen.
Sejak kunjungan 31 anggota DPR ke Beijing, atmosfir politik di Taiwan memanas. Gerakan demonstrasi recall semakin sering terjadi dan semakin besar, bahkan sampai memicu perdebatan dan perkelahian di DPR.
Meskipun berhasil mengumpulkan tanda tangan 10 persen di 31 daerah pemilihan yang dikuasai Kuomintang, gerakan recall ini belum berhasil. Masih ada tujuh anggota DPR yang menunggu hasil recall. Perlawanan untuk tujuh orang ini juga sangat sengit.
Di Taiwan, partai politik tidak dapat me-recall anggotanya. Hanya rakyat yang memiliki hak tersebut.