Eropa Legawa dengan Kesepakatan Dagang AS, Tapi Ada yang Merasa Dirugikan

Jakarta – Pemerintah dan pelaku bisnis di Eropa bernapas lega setelah tercapainya kesepakatan dagang antara Uni Eropa (UE) dan Amerika Serikat (AS) pada hari Minggu, mengakhiri ketidakpastian tarif yang berlangsung hampir empat bulan.

Reaksi pasar pun positif. Saham perusahaan otomotif Eropa melonjak hingga 3% saat pembukaan perdagangan pada hari Senin, sementara indeks saham UE mencapai level tertinggi dalam empat bulan terakhir. Penurunan imbal hasil obligasi Eropa juga mengindikasikan optimisme investor bahwa ketegangan dagang transatlantik mulai mereda.

Dalam kesepakatan terbaru, AS akan mengenakan tarif sebesar 15% pada sebagian besar ekspor dari UE, sementara UE berkomitmen untuk berinvestasi sebesar €514 miliar (setara Rp9.766 triliun) ke AS, mitra dagang terbesarnya. Beberapa sektor masih menunggu finalisasi tarif.

Meskipun tarif baru ini lebih rendah dari tarif 25% yang dikenakan pada produsen mobil Eropa pada bulan April dan rencana tarif 30% yang sebelumnya akan berlaku pada 1 Agustus, tarif ini tetap merupakan peningkatan signifikan dari tarif 2,5% sebelum masa jabatan kedua Presiden AS Donald Trump.

Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, menyebut kesepakatan ini sebagai "kesepakatan yang baik" yang akan mengembalikan "stabilitas" dan "kepastian" dalam perdagangan transatlantik. Ia mengakui bahwa "15% bukanlah angka yang kecil, tetapi ini adalah hasil terbaik yang bisa dicapai."

Kanselir Jerman, Friedrich Merz, juga menyatakan hal senada, menyebut kesepakatan ini sebagai cara untuk "melindungi kepentingan inti" dan mencegah "eskalasi yang tidak perlu dalam hubungan dagang transatlantik." Namun, ia juga mengungkapkan kekecewaannya karena "sangat berharap ada keringanan lebih lanjut."

Kesepakatan UE Dianggap "Memalukan" oleh Sebagian Pihak

Meskipun para pembuat kebijakan UE mengklaim telah berhasil meredakan ancaman tarif yang lebih tinggi dari Trump, banyak pemimpin politik dan bisnis Eropa mengecam kesepakatan ini sebagai kerugian bagi blok beranggotakan 27 negara tersebut. UE awalnya menargetkan tarif sebesar 10%.

Perdana Menteri (PM) Hungaria, Viktor Orban, mengkritik tajam kesepakatan ini dan menyebutnya "lebih buruk" dari kesepakatan yang diraih Inggris pada Mei 2025.

PM Prancis, Francois Bayrou, menyebut kesepakatan UE-AS ini sebagai "hari yang kelam" dan menyesalkan bagaimana UE "pasrah pada penaklukan."

Mantan anggota parlemen Eropa, Guy Verhofstadt, bahkan menyebut kesepakatan ini sebagai "bencana yang memalukan" karena tidak ada "satu pun konsesi dari pihak AS."

Anggota Parlemen Eropa dari Jerman, Bernd Lange, berpendapat bahwa kesepakatan ini "berat sebelah" dan Brussels telah memberikan konsesi yang "sulit diterima."

Pengusaha Prancis, Arnaud Bertrand, menyebut kesepakatan ini sebagai "transfer kekayaan satu arah," dan menambahkan bahwa "ini lebih mirip perjanjian tidak setara yang dulu dipaksakan oleh kekuatan kolonial pada abad ke-19, hanya saja kali ini, Eropa yang dirugikan."

Pakar perdagangan luar negeri di Institut Riset Ekonomi Jerman (DIW Berlin), Ruben Staffa, mengatakan bahwa kesepakatan ini menandai "kenaikan hampir sepuluh kali lipat tarif rata-rata yang berlaku sebelum masa jabatan kedua Trump."

Apa Keuntungan Bagi Uni Eropa?

Kesepakatan ini membantu UE menghindari perang dagang berskala penuh yang dapat mengganggu kepercayaan bisnis dan belanja konsumen di kedua sisi Atlantik.

Brussels telah menyiapkan langkah balasan senilai €72 miliar (sekitar Rp1.368 triliun) terhadap impor AS sebagai antisipasi terhadap tarif AS yang lebih tinggi.

Meskipun jauh dari ideal, dampak ekonomi dari kesepakatan ini diperkirakan relatif ringan. Menurut data dari Kiel Institute for the World Economy (IfW), tarif ini hanya akan mengurangi Produk Domestik Bruto (PDB) UE sebesar 0,1%.

Beberapa sektor justru diperkirakan akan diuntungkan. Bloomberg Intelligence memprediksi peningkatan laba sebesar €4 miliar (sekitar Rp76 triliun) bagi sektor otomotif Eropa.

Namun, perusahaan-perusahaan Jerman bersiap menanggung biaya besar. Tarif baru ini diperkirakan akan membebani mereka dengan tambahan biaya sebesar €6,5 miliar (sekitar Rp123,5 triliun).

Analis: Brussels Kehilangan Peluang Penting dalam Kesepakatan

Meskipun berhasil menghindari perang dagang, Brussels dikritik karena gagal mendapatkan konsesi yang lebih substansial dari Washington.

Para analis berpendapat bahwa UE kehilangan peluang penting untuk menegosiasikan pemotongan tarif timbal balik pada ekspor bernilai tinggi dari Eropa, termasuk minuman anggur, alkohol tinggi, dan barang mewah.

Rencana UE untuk membeli energi AS senilai €647 miliar (sekitar Rp12.293 triliun), ditambah investasi sebesar €514 miliar (setara Rp9.766 triliun) selama tiga tahun, menuai skeptisisme dari kalangan ekonom terhadap kelayakan komitmen tersebut.

Kritikus juga menyoroti keputusan Brussels untuk mundur lebih awal dari tarif balasan, yang dinilai melemahkan posisi tawar blok ini dalam negosiasi.

Apa yang Akan Terjadi Selanjutnya?

Kesepakatan ini masih berupa kerangka awal, bukan perjanjian menyeluruh. Negosiator dari Brussels dan Washington akan menyusun teks rinci dan menetapkan tanggal berlakunya tarif 15% dalam beberapa bulan mendatang.

UE harus bersiap menghadapi kemungkinan revisi, mengingat rekam jejak Trump yang sering mengajukan tuntutan di menit-menit terakhir.

Kesepakatan ini memerlukan persetujuan dari negara-negara anggota UE dan pengawasan dari Parlemen Eropa, sebuah proses yang kemungkinan akan memakan waktu beberapa pekan.

Pemerintahan Trump menghadapi hampir selusin gugatan hukum yang menantang legalitas kebijakan tarifnya. Jika gugatan ini berhasil, tarif bisa dibatalkan dan memicu negosiasi baru.

Sejumlah tarif di sektor penting juga masih belum terselesaikan. Brussels masih mendorong pengecualian untuk minuman anggur dan alkohol, komoditas penting bagi Prancis dan Italia. Tarif yang lebih rendah untuk farmasi dan semikonduktor juga masih dalam pembahasan.

Scroll to Top