Ulama Perempuan di Era Digital: Meneruskan Semangat Kartini dalam Dakwah

Perkembangan teknologi informasi mengubah cara kita berkomunikasi secara fundamental. Internet meruntuhkan batasan geografis dan sosial, memungkinkan interaksi instan antar individu di seluruh dunia. Era digital melahirkan media baru yang interaktif dan konvergen, dari media sosial hingga aplikasi pesan instan, mengubah cara kita memproduksi, menyebarkan, dan mengonsumsi informasi.

Namun, kemudahan akses ini menghadirkan tantangan. Informasi yang berlimpah tidak selalu diimbangi dengan kemampuan berpikir kritis. Disinformasi, ujaran kebencian, dan radikalisme digital menjadi konsekuensi nyata ketika literasi digital tidak berkembang seiring dengan penetrasi internet yang masif. Budaya digital membentuk perilaku baru, menuntut adaptasi dalam nilai dan etika agar masyarakat tidak terjebak dalam budaya instan yang dangkal dan mudah terprovokasi.

Ruang digital membawa nilai dan mengonstruksi opini, menjadi medan pertarungan ideologi dan keberagamaan. Narasi keagamaan yang mencerahkan, humanis, dan inklusif sangat dibutuhkan. Sayangnya, ulama perempuan masih minim kehadirannya di ruang digital, padahal sejarah Islam mencatat peran penting perempuan dalam pengembangan ilmu dan dakwah. Kesenjangan digital berbasis gender memperparah situasi, membatasi akses, keahlian, dan panggung bagi perempuan untuk menyuarakan perspektif keagamaannya.

Hari Kartini di era internet menjadi momen reflektif. Kartini adalah simbol emansipasi, semangat pencarian ilmu, kebebasan berpikir, dan keberanian bersuara. Semangat inilah yang perlu dihidupkan kembali oleh ulama perempuan masa kini, di ruang digital yang menjadi arena strategis dalam membentuk arah keberagamaan masyarakat.

Kehadiran ulama perempuan di ruang digital bukan sekadar pelengkap, melainkan kebutuhan mendesak. Ulama perempuan memiliki perspektif khas pengalaman keperempuanan, sensibilitas terhadap isu-isu sosial, dan pendekatan tafsir yang lebih kontekstual, relevan dalam menjawab tantangan zaman. Mereka bisa menjadi pengimbang narasi patriarkis, pelurus disinformasi keagamaan, dan pelindung kelompok rentan dari kekerasan simbolik di dunia maya.

Untuk hadir secara efektif, kapasitas, jejaring, dan strategi perlu diperkuat. Ulama perempuan tidak hanya mahir dalam ilmu agama, tetapi juga melek digital, piawai dalam komunikasi massa, dan memahami algoritma media sosial. Penguatan literasi digital dan narasi keagamaan yang kontekstual menjadi langkah pertama.

Ulama perempuan perlu membangun kolaborasi lintas komunitas dengan jurnalis, influencer, akademisi, dan aktivis untuk memperluas jangkauan dan dampak pesan. Mengemas konten dakwah dalam format menarik dan kredibel, seperti video pendek, infografis, podcast, dan thread edukatif agar lebih diterima publik digital. Branding digital yang otoritatif dan ramah, serta panduan etika dakwah digital akan menjaga keberlanjutan dakwah yang beradab dan maslahat.

Semangat Kartini adalah semangat melampaui keterbatasan. Kini, keterbatasan itu hadir dalam bentuk ketimpangan digital, dominasi narasi patriarkis, dan maraknya disinformasi keagamaan. Meneruskan jejak Kartini adalah memperkuat eksistensi ulama perempuan di ruang digital, bukan hanya untuk ikut serta, tetapi untuk memimpin, mengarahkan, dan menyelamatkan wajah keberagamaan masyarakat dari kedangkalan berpikir dan kekerasan simbolik. Dunia maya adalah medan dakwah yang menuntut strategi baru, narasi baru, dan tokoh baru. Ulama perempuan mesti siap mengambil peran tersebut, meneruskan perjuangan Kartini dalam versi yang lebih digital, kontekstual, dan membebaskan.

Scroll to Top