Thailand Tuduh Kamboja Langgar Gencatan Senjata, Pertempuran Berlanjut

BANGKOK – Beberapa jam setelah Thailand dan Kamboja sepakat melakukan gencatan senjata, militer Thailand justru menuding Kamboja melanggar kesepakatan tersebut. Konflik bersenjata dilaporkan terus berlanjut meski sudah ada upaya untuk mengakhiri pertempuran sengit di perbatasan kedua negara.

Setelah negosiasi damai di Malaysia pada hari Senin, kedua negara setuju gencatan senjata tanpa syarat dimulai tengah malam. Tujuannya adalah menghentikan pertempuran memperebutkan kuil-kuil kuno di zona sengketa sepanjang 800 kilometer perbatasan.

"Ketika perjanjian berlaku, pasukan Thailand mendeteksi serangan bersenjata dari pasukan Kamboja di beberapa area wilayah Thailand," ungkap juru bicara militer Thailand, Winthai Suwaree.

"Ini adalah pelanggaran yang disengaja terhadap perjanjian dan upaya merusak rasa saling percaya," lanjutnya. "Thailand wajib merespons dengan tepat dan menggunakan hak membela diri."

Juru bicara Kementerian Pertahanan Kamboja, Maly Socheata, mengklaim tidak ada bentrokan bersenjata di wilayah mana pun.

Meski demikian, kedua pihak menyatakan pertemuan antara komandan regional di perbatasan, yang merupakan bagian dari pakta gencatan senjata, sudah dimulai atau masih dijadwalkan.

Di Samraong, Kamboja, suara ledakan mereda 30 menit sebelum tengah malam dan ketenangan berlanjut hingga pagi.

"Garis depan telah tenang sejak gencatan senjata pukul 00.00," kata Perdana Menteri Kamboja, Hun Manet.

Jet tempur, roket, dan artileri telah menewaskan sedikitnya 38 orang sejak Kamis dan menyebabkan hampir 300.000 orang mengungsi. Hal ini mendorong intervensi dari Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Konflik ini menjadi yang paling mematikan sejak kekerasan sporadis terjadi dari tahun 2008-2011 di wilayah yang diklaim kedua negara karena demarkasi tidak jelas oleh pemerintah kolonial Prancis pada tahun 1907.

"Saya sangat bahagia karena merindukan rumah dan barang-barang yang saya tinggalkan," kata Phean Neth, warga Kamboja di kamp pengungsi.

Malaysia Upayakan Perdamaian

Pernyataan bersama dari kedua negara dan Malaysia, yang menjadi tuan rumah perundingan, menyebut gencatan senjata sebagai "langkah awal vital menuju de-eskalasi dan pemulihan perdamaian dan keamanan."

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak kedua negara menghormati perjanjian dan menciptakan lingkungan kondusif untuk mengatasi masalah yang sudah lama ada dan mencapai perdamaian abadi.

Kedua pihak juga mendekati Trump untuk mendapatkan kesepakatan dagang guna menghindari ancaman tarif tinggi. Departemen Luar Negeri AS menyatakan pejabatnya telah "di lapangan" untuk mengawal perundingan damai.

Pernyataan bersama menyebutkan bahwa China juga "berpartisipasi aktif" dalam perundingan yang diselenggarakan oleh Perdana Menteri Malaysia dan ketua blok ASEAN, Anwar Ibrahim.

Hun Manet berterima kasih kepada Trump atas dukungannya. Penjabat Perdana Menteri Thailand, Phumtham Wechayachai, mengatakan perundingan harus "dilaksanakan dengan itikad baik oleh kedua belah pihak".

"Jika mereka mengatakan akan berhenti menembak, mereka harus berhenti sepenuhnya," kata Prapakarn Samruamjit, pengungsi Thailand.

Kesepakatan Tarif Pasca-gencatan Senjata

Masing-masing pihak telah menyetujui gencatan senjata secara prinsip, sambil menuduh pihak lain merusak upaya perdamaian dan saling menuduh penggunaan bom curah dan penargetan rumah sakit.

Thailand melaporkan 11 tentara dan 14 warga sipil tewas, sementara Kamboja mengonfirmasi 8 warga sipil dan 5 personel militer tewas.

Lebih dari 138.000 orang telah meninggalkan wilayah perbatasan Thailand, sementara sekitar 140.000 orang mengungsi dari rumah mereka di Kamboja.

Scroll to Top