Terobosan Baru Pajak Kripto Indonesia: PPN Dihapus, PPh Naik!

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan perubahan signifikan dalam aturan pajak aset kripto yang akan berlaku mulai 1 Agustus 2025. Perubahan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto.

Kabar baiknya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk transaksi aset kripto dihapuskan. Namun, perlu diperhatikan, kabar buruknya adalah tarif Pajak Penghasilan (PPh) atas keuntungan dari transaksi kripto dinaikkan dan akan berlaku penuh mulai tahun pajak 2026.

Perubahan ini sejalan dengan transformasi status aset kripto dari komoditas menjadi instrumen keuangan digital, yang pengawasannya akan beralih dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Januari 2025.

Peningkatan Tarif PPh untuk Penghasilan Kripto

PMK 50/2025 mewajibkan setiap pihak yang memperoleh penghasilan dari aktivitas terkait aset kripto untuk membayar Pajak Penghasilan (PPh). Ini meliputi penerima hasil penjualan aset kripto, penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), hingga penambang kripto.

Tarif PPh Pasal 22 yang dikenakan adalah 0,21%, naik dari tarif sebelumnya sebesar 0,1% dalam PMK 68/2022 untuk transaksi di platform yang terdaftar di Bappebti. PPh ini bersifat final dan wajib dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Ketentuan ini berlaku untuk seluruh jenis transaksi aset kripto, termasuk transaksi dengan mata uang fiat, swap kripto, dan transaksi lainnya.

Bagi penjual aset kripto yang bertransaksi melalui platform elektronik yang tidak terdaftar di Bappebti atau beroperasi di luar negeri, tarif PPh Pasal 22 yang dikenakan adalah 1% dari nilai transaksi. Jika platform luar negeri tersebut juga memungut pajak, pajak yang dibayarkan di luar negeri tidak dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang di Indonesia.

PPN Dihapus, Tapi Tidak Semuanya

Penyerahan aset kripto oleh pihak non-Pengusaha Kena Pajak (PKP) tidak dikenakan PPN. Aset kripto disamakan dengan surat berharga atau instrumen keuangan lainnya, sehingga bukan objek PPN.

Namun, PPN tetap berlaku untuk jasa pendukung ekosistem, seperti jasa penyediaan sarana elektronik (PMSE), dengan tarif 1,1% (12% x 11/12) dari komisi atau fee transaksi. Sementara itu, jasa penambangan atau verifikasi transaksi dikenakan PPN sebesar 1,83% (20% x 11/12) dari nilai penggantian, yang meliputi block reward, fee transaksi, atau imbal hasil lainnya yang diterima penambang.

Contoh Penghitungan Pajak Kripto

Penjualan Kripto dengan Rupiah

Tuan ABC menjual 0,7 koin aset kripto seharga Rp500.000.000 per koin kepada Tuan BCD melalui platform Pedagang Aset Keuangan Digital XYZ. Pedagang XYZ wajib memungut PPh Pasal 22 dari Tuan ABC sebesar 0,21% x (0,7 x Rp500.000.000) = Rp735.000. Pedagang XYZ kemudian membuat bukti potong, menyetor pajak paling lambat tanggal 15 September 2025, dan melaporkannya dalam SPT Masa Pajak Penghasilan Unifikasi Masa Agustus, paling lambat tanggal 20 September 2025.

Transaksi Swap Aset Kripto

Tuan BCD menukar (swap) 0,3 koin Aset Kripto F dengan 30 koin Aset Kripto G milik Nyonya CDE melalui platform yang sama. Nilai konversi saat itu adalah Rp500.000.000 untuk 1 koin F dan Rp5.000.000 untuk 1 koin G. Pedagang XYZ wajib memungut PPh Pasal 22 dari Tuan BCD sebesar 0,21% x (0,3 x Rp500.000.000) = Rp315.000 atas penyerahan koin F, dan dari Nyonya CDE sebesar 0,21% x (30 x Rp5.000.000) = Rp315.000 atas penyerahan koin G. Kewajiban penyetoran dan pelaporan sama dengan contoh sebelumnya.

Pelanggaran terhadap ketentuan pemungutan, penyetoran, atau pelaporan pajak akan dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Scroll to Top