Indonesia berduka atas kepergian Kwik Kian Gie, ekonom senior dan mantan Menko Ekonomi di era Presiden Gus Dur. Lebih dari sekadar tokoh ekonomi, Kwik Kian Gie dikenal sebagai sosok yang berani, kritis, dan memiliki integritas tinggi. Kepergiannya menyisakan rasa ingin tahu tentang prinsip-prinsip yang membimbing hidupnya, termasuk keyakinan agamanya.
Publik lebih mengenal Kwik Kian Gie dari karier politik dan pemikiran ekonominya. Informasi mengenai kehidupan pribadinya, termasuk agama, jarang menjadi sorotan utama. Walau demikian, menelusuri jejaknya dapat memberikan gambaran utuh tentang sosoknya.
Agama Kwik Kian Gie: Konghucu
Informasi mengenai agama Kwik Kian Gie tidak serta merta muncul dalam berbagai profil publik. Hal ini mengindikasikan bahwa Kwik Kian Gie adalah sosok yang tidak menjadikan identitas pribadi sebagai pusat perhatian dalam kiprahnya di dunia politik. Fokusnya adalah substansi: kebijakan, data, dan keberpihakan pada kepentingan masyarakat.
Namun, dari arsip, diketahui bahwa Kwik Kian Gie menganut agama Konghucu. Informasi ini menjadi kunci untuk memahami kerangka filosofis yang mungkin membentuk pandangan hidupnya.
Kwik Kian Gie lahir di Juwana (Pati), sebuah kota dengan komunitas Tionghoa yang cukup besar. Kong Hu Chu, atau Konfusianisme, tidak hanya dipahami sebagai agama, tetapi juga sebagai sistem etika dan filsafat sosial. Ajarannya menekankan moralitas pribadi dan pemerintahan, kebenaran, keadilan, serta harmoni dalam hubungan sosial. Nilai-nilai seperti pengabdian, penghormatan pada leluhur dan orang tua, serta pentingnya pendidikan, menjadi pilar utamanya.
Jejak Nilai Konfusianisme dalam Karier dan Pemikiran
Ada korelasi kuat antara prinsip-prinsip Konfusianisme dengan sikap dan tindakan Kwik Kian Gie sepanjang hidupnya.
1. Pendidikan sebagai Fondasi
Konfusianisme menekankan pentingnya pendidikan untuk pencerahan individu dan kemajuan masyarakat. Kwik Kian Gie mewujudkan prinsip ini. Ia turut mendirikan SMA Erlangga di Surabaya pada tahun 1954. Puncaknya adalah pendirian Institut Bisnis Indonesia (IBI), kini dikenal sebagai Kwik Kian Gie School of Business, sebagai wujud pengabdian untuk mencetak manajer dan profesional yang handal. Baginya, pendidikan berkualitas adalah kunci menjawab tantangan zaman.
2. Nasionalisme dan Keadilan
Kwik Kian Gie dikenal sebagai seorang "nasionalis sejati." Ia konsisten menentang liberalisasi ekonomi berlebihan dan mengkritik campur tangan asing yang merugikan kedaulatan ekonomi Indonesia. Sikap ini dapat dilihat sebagai perwujudan ajaran Konfusianisme tentang tugas seorang intelektual atau pejabat untuk memastikan negara berjalan adil dan teratur demi kesejahteraan rakyat. Ia berani "berdiri tegak di tengah badai, demi kepentingan rakyat dan negeri."
3. Kritik sebagai Pengabdian
Dalam tradisi Konfusianisme, seorang "Junzi" (insan budiman) memiliki kewajiban moral menyuarakan kebenaran kepada penguasa demi kebaikan bersama. Sikap Kwik Kian Gie yang vokal dan tak pandang bulu dalam mengkritik kebijakan pemerintah, baik saat berada di dalam maupun di luar kekuasaan, mencerminkan prinsip ini. Kritiknya bukanlah serangan personal, melainkan bentuk pengabdian intelektual untuk menjaga agar negara tidak salah arah.
Pribadi yang Mengedepankan Karya
Meskipun tercatat sebagai penganut Konghucu, Kwik Kian Gie memilih dikenal melalui karya dan integritasnya. Fakta bahwa informasi ini tidak mudah ditemukan menunjukkan bahwa ia adalah pribadi yang menjaga ranah privatnya. Ia adalah WNI keturunan Tionghoa yang menikah dengan wanita Belanda, Edith Johanna de Wit, menunjukkan sisi kosmopolitan dari seorang nasionalis.
Warisan Kwik Kian Gie terletak pada keteladanan intelektual dan keberaniannya. Ia adalah seorang teknokrat yang dipandu kompas etika yang kuat, yang nilai-nilainya—seperti pentingnya pendidikan, keadilan sosial, dan integritas—bersinggungan erat dengan ajaran Konfusianisme.
Apakah nilai-nilai integritas, keberpihakan pada rakyat, dan keberanian intelektual yang diusung Kwik Kian Gie masih relevan sebagai pedoman bagi para pemimpin Indonesia saat ini?