Investasi Ratusan Triliun Rupiah di Semester I 2025: Cukupkah Serap Tenaga Kerja?

Kabar gembira datang dari bidang investasi. Pada semester pertama tahun 2025, Indonesia berhasil meraup investasi yang fantastis, mendekati angka Rp1.000 triliun. Pemerintah mengklaim, suntikan dana ini mampu menciptakan lebih dari 1,2 juta lapangan kerja di berbagai penjuru nusantara.

Namun, benarkah investasi jumbo ini serta merta menjamin kesejahteraan tenaga kerja Indonesia? Para analis ekonomi punya pandangan yang lebih hati-hati.

Investasi yang masuk saat ini didominasi oleh sektor padat modal, seperti hilirisasi tambang dan energi, serta investasi portofolio seperti surat utang dan saham. Sektor-sektor ini, meski penting untuk pertumbuhan ekonomi, tidak banyak menyerap tenaga kerja secara langsung. Berbeda dengan sektor manufaktur yang justru mengalami tren negatif.

Kondisi ini mencerminkan masalah struktural. Masuknya dana investasi yang besar tidak otomatis berbanding lurus dengan penciptaan lapangan kerja yang signifikan. Sektor padat modal, yang mengandalkan teknologi dan mesin, cenderung membatasi penggunaan tenaga kerja manusia.

Hal ini menjadi perhatian khusus. Arah dan kualitas investasi perlu dievaluasi. Kebutuhan tenaga kerja Indonesia tidak hanya terbatas pada lulusan SMP atau SMA. Banyak lulusan S1 dan S2 yang membutuhkan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka. Keseimbangan antara investasi padat modal dan padat karya sangat penting.

Pemerintah perlu menyusun ulang kebijakan investasi. Apapun bentuk investasinya, baik padat modal, padat karya, maupun portofolio, semuanya dibutuhkan. Namun, jika tujuan utama adalah menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin, prioritas investasi harus diarahkan dengan jelas, bukan sekadar mengikuti mekanisme pasar. Langkah nyata dan terencana harus diambil untuk memprioritaskan sektor padat karya.

Perubahan struktur ekonomi nasional juga berperan dalam fenomena ini. Investasi semakin banyak mengalir ke sektor padat modal seperti hilirisasi tambang, energi, dan infrastruktur. Sektor-sektor ini penting untuk menopang pertumbuhan jangka panjang, namun daya serap tenaga kerjanya relatif rendah dibandingkan sektor padat karya.

Peningkatan investasi seharusnya menjadi mesin penggerak penciptaan lapangan kerja. Namun, dalam praktiknya, investasi di sektor padat modal lebih mengandalkan mesin dan teknologi. Tidak ada formula pasti mengenai berapa banyak tenaga kerja yang harus diciptakan dari sejumlah investasi tertentu. Penyerapan tenaga kerja sangat bergantung pada karakteristik sektor, intensitas teknologi yang digunakan, serta arah dan strategi pembangunan nasional secara keseluruhan.

Belajar dari negara lain seperti Vietnam, investasi asing langsung (FDI) memainkan peran besar dalam penyerapan tenaga kerja, terutama di sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan elektronik.

Jika Indonesia ingin menghidupkan kembali sektor padat karya, kuncinya bukan hanya soal menarik investasi, tetapi juga meningkatkan skala usaha agar lebih efisien dan mampu menaikkan upah pekerja secara bertahap.

Scroll to Top