PDIP di Simpang Jalan: Konsolidasi Internal dan Arah Politik Pasca Kasus Hasto

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) baru saja menggelar Bimbingan Teknis (Bimtek) di Bali yang dihadiri ribuan kader dari seluruh Indonesia. Acara ini dibuka oleh Ketua DPP PDIP, Puan Maharani, yang menekankan pentingnya kesatuan visi dan misi partai, terutama bagi kader yang duduk di kursi legislatif. Tujuan utamanya adalah memperkuat soliditas partai dan mengawasi pelaksanaan program-program pemerintah agar tepat sasaran.

Bimtek ini berlangsung tidak lama setelah Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, divonis dalam kasus suap yang melibatkan mantan caleg PDIP, Harun Masiku. Kasus ini oleh PDIP dianggap sebagai politisasi hukum.

Pengamat politik dari Arus Survei Indonesia (ASI), Ali Rif’an, menilai Bimtek ini sebagai ajang konsolidasi PDIP menjelang kongres. Menurutnya, vonis terhadap Hasto berpotensi mengubah arah politik PDIP, yang selama ini terbelah antara faksi yang ingin tetap di luar pemerintahan dan faksi yang condong untuk bergabung.

Ali Rif’an berpendapat, arah politik PDIP akan sangat ditentukan oleh siapa yang akan menduduki posisi sekretaris jenderal. Jika pengganti Hasto berasal dari faksi yang sama (oposisi), PDIP kemungkinan besar akan tetap berada di luar pemerintahan. Namun, jika sekjen berasal dari faksi Puan (pro-pemerintah), PDIP berpotensi merapat ke pemerintah dalam waktu dekat.

Senada dengan hal itu, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, melihat bahwa PDIP akan terus berupaya memantapkan soliditas politiknya. Ia menilai, kasus Hasto adalah bagian dari upaya politik untuk menarget PDIP. Meskipun demikian, Adi melihat kecenderungan PDIP untuk tetap berada di luar kekuasaan, meskipun hubungan dengan pemerintah tetap baik.

Menentukan Sikap: Belajar dari Sejarah

Ali Rif’an menekankan pentingnya bagi PDIP untuk mengambil sikap politik yang jelas. Ia mencontohkan keberhasilan PDIP pada Pemilu 2014, saat partai ini menjadi oposisi selama era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Posisi oposisi yang jelas memberikan insentif elektoral bagi PDIP.

Pada Pemilu 2019, PDIP kembali menang karena memiliki kader sebagai calon presiden dan berstatus sebagai partai pemerintah. Namun, jika PDIP tidak memiliki sikap yang jelas, partai ini berpotensi disalip oleh partai lain, terutama Gerindra yang menargetkan perolehan suara hingga 30 persen.

Dengan demikian, PDIP berada di persimpangan jalan. Pilihan untuk tetap menjadi oposisi atau merapat ke pemerintah akan menentukan arah politik partai ini ke depan, serta dampaknya terhadap elektabilitas dan peran PDIP dalam konstelasi politik nasional.

Scroll to Top