Mulai 1 Agustus 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerapkan perubahan signifikan dalam perpajakan aset kripto. PPh Pasal 22 atas aset kripto akan dikenakan sebesar 0,21% untuk transaksi di platform dalam negeri. Kabar baiknya, pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi ini ditiadakan.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025 menjadi dasar perubahan ini. Sebelumnya, tarif PPh Pasal 22 adalah 0,1%, sementara PPN sebesar 0,11% sesuai PMK 81/2024. PPh 22 final ini berlaku untuk penjual aset kripto, Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), dan penambang aset kripto.
Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menyatakan bahwa kebijakan ini mulai berlaku efektif 1 Agustus 2025.
Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama, menjelaskan bahwa penghapusan PPN dan kenaikan tarif PPh tidak akan berdampak signifikan pada penerimaan pajak dari transaksi kripto. Angka 0,21% merupakan gabungan dari PPh lama (0,1%) dan PPN (0,11%). Dengan demikian, total pajak yang dibayarkan tetap sama.
"Kemarin terpisah antara PPh dan PPN, sekarang hanya PPh saja, jadi total utang pajaknya tetap sama," ujar Yoga.
Potensi penerimaan pajak kripto sangat bergantung pada kondisi pasar. Nilai setoran sangat fluktuatif, mengikuti tren harga dan volume transaksi kripto.
Sebagai ilustrasi, setoran PPh dan PPN aset kripto pada tahun 2022 (saat pemberlakuan pungutan PMSE) mencapai Rp 246 miliar, menurun menjadi Rp 220 miliar pada tahun 2023, dan melonjak menjadi Rp 620 miliar pada tahun 2024. Hingga saat ini di tahun 2025, penerimaan baru mencapai sekitar Rp 115 miliar.
Yoga menekankan bahwa penerimaan pajak kripto mencerminkan kondisi pasar yang dinamis. Harga kripto sangat fluktuatif, termasuk Bitcoin dan aset lainnya.