Ketegangan antara Rusia dan Amerika Serikat kembali memanas setelah Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia, Dmitry Medvedev, terlibat dalam perang kata-kata dengan mantan Presiden AS, Donald Trump. Medvedev memperingatkan Trump tentang kemampuan Rusia untuk meluncurkan "serangan nuklir kiamat" sebagai opsi terakhir, merespons kritikan tajam Trump terhadap dirinya.
Trump sebelumnya mengecam Medvedev, yang pernah menjabat sebagai Presiden Rusia, setelah Medvedev menyebut ancaman Trump terkait tarif untuk Rusia dan pembeli minyaknya sebagai "permainan ultimatum" dan langkah menuju perang antara kedua negara.
Medvedev membalas dengan menyatakan bahwa reaksi Trump menegaskan Rusia berada di jalur yang benar dan akan melanjutkannya. Ia mengingatkan Trump tentang bahaya sistem "Tangan Mati" Rusia, sebuah sistem komando semi-otomatis rahasia yang dirancang untuk meluncurkan rudal nuklir jika kepemimpinan Rusia dilumpuhkan dalam serangan musuh.
Profil Dmitry Medvedev: Dari Modernis hingga Pembenci Barat
Dilahirkan pada 14 September 1965 di Leningrad (sekarang Rusia), Dmitry Anatolyevich Medvedev menempuh pendidikan hukum di Universitas Negeri Leningrad. Ia pernah aktif di partai CPSU dan kemudian Partai Rusia Bersatu.
Karier politiknya mencakup jabatan sebagai Presiden Rusia (2008-2012) dan Perdana Menteri Rusia (2012-2020). Saat menjabat presiden, Medvedev meluncurkan program modernisasi ekonomi dan teknologi, bertujuan mengurangi ketergantungan Rusia pada minyak dan gas. Ia juga menandatangani perjanjian New-START dengan AS untuk pengurangan senjata nuklir.
Pada dekade 2010-an, Medvedev dianggap lebih moderat dan pro-Barat. Namun, sejak invasi Rusia ke Ukraina pada 2022, posisinya berubah drastis menjadi semakin keras dan konfrontatif terhadap Barat. Kini, ia menjadi figur terdepan dalam retorika ancaman nuklir Kremlin.
Medvedev sebelumnya mengklaim bahwa beberapa negara bisa "menyediakan hulu ledak nuklir ke Iran" setelah serangan AS terhadap situs nuklir Iran. Pada Februari 2024, ia bahkan menyatakan bahwa jika Rusia dipaksa kembali ke perbatasan 1991, dampaknya bisa memicu perang nuklir besar terhadap Washington, London, Berlin, dan Kyiv.
Retorika serangan nuklir seringkali digunakan Medvedev sebagai alat "pencegahan" agar Barat tidak memperluas dukungan militernya kepada Ukraina.