"The Act of Killing" bukan sekadar film dokumenter biasa. Adegan pembukaannya langsung menangkap perhatian: visual warna-warni yang kontras dengan latar belakang Indonesia yang subur, namun menyimpan kengerian yang perlahan merayap.
Film ini berbeda. Alih-alih menyajikan narasi tragedi 1965 secara langsung, film ini memilih untuk menyoroti para pelaku pembunuhan massal. Mereka diberi panggung untuk menjadi bintang dalam film rekonstruksi versi mereka sendiri, lengkap dengan gaya yang mencolok dan ironi yang getir.
Para algojo tersebut diminta untuk memerankan kembali adegan-adegan kekerasan yang pernah mereka lakukan. Rekonstruksi ini dikemas dalam berbagai genre film favorit mereka, mulai dari film gangster, western, hingga musikal. Hasilnya adalah campuran yang mengganggu: kengerian yang bercampur dengan kesedihan yang mendalam.
Salah satu adegan yang paling membekas adalah ketika seorang korban bercerita, sembari tertawa, tentang bagaimana ia membuang mayat ayah tirinya ke sungai. Keabsurdan ini justru menambah dimensi kengerian pada cerita.
Sepanjang film, kita menyaksikan transformasi para pelaku. Awalnya, mereka tampak bangga dengan perbuatan mereka. Namun, ada momen ketika salah satu pelaku mengakui kekejaman mereka, meskipun kemudian buru-buru menarik kembali kata-katanya. Seolah mereka merasa terikat untuk tetap kuat dan tidak menyesal, meyakini bahwa tindakan mereka adalah kebenaran.
Puncak film adalah adegan yang sunyi namun menghantui. Seorang pelaku berdiri, muntah, dan terdiam. Seolah semua ingatan buruknya menumpuk, dan tubuhnya tidak mampu lagi menahannya.
"The Act of Killing" adalah film dokumenter yang sangat penting, terutama bagi mereka yang peduli dengan bagaimana sejarah dibentuk dan diceritakan. Pengaruhnya sangat besar.
Sebagai bukti pengakuan internasional, "The Act of Killing" masuk dalam daftar 100 film terbaik abad ke-21 versi The New York Times, menduduki peringkat ke-82. Film ini merupakan representasi Indonesia yang kuat dan menggugah pemikiran di kancah perfilman dunia.